FATIMAH PUN MENJADI PENASARAN


            Suatu ketika, Fatimah bertanya kepeda Rasulullah. Siapakah perempuan yang kelak pertama kali masuk surga? Rasulullah menjawab: “ dia adalah seorang wanita yang bernama Mutiah”.
            Fatimah terkejut. Ternyata bukan dirinya, seperti yang dibayangkannya. Mengapa justru orang lain, padahal dia adalah putrid Rasulullah sendiri? Maka timbullah keinginan Fatimah untuk mengetahui siapa gerangan perempuan itu? Dan apakah yang telah diperbuetya hingga dia mendapat kehormatan yang begitu tinggi?
Setelah minta izin kepada suaminya, fatimah berangkat mencari rumah kediaman Mutiah. Putranya yang masih kecil bernama hasan diajak ikut serta.
Ketika tiba di rumah Mutiah, Fatimah mengetuk pintu seraya memberi salam, “ Assalamu’alaikum…...!”
“Wa’alaikum salam! Siapa di luar?” terdengar jawaban yang lemah lembut dari dalam rumah. Suaranya cerah dan merdu.
“saya Fatimah, putrid Rasulullah,” sahut Fatimah kembali.
“Alhamdulillah, alangkah bahagia saya hari ini Fatimah, putri Rasulullah sudi berkunjung ke gubug saya,” terdengar kembali jawaban dari dalam. Suara itu terdengar ceria dan semakin mendekati pintu.
“sendirian, Fatimah,” Tanya seorang perempuaan sebaya dengan Fatimah, yaitu Mutiah seraya membukakan pintu.
“Aku ditemani Hasan,” jawab Fatimah.
“aduh, maaf ya,” kata Mutiah, suaranya terdengar menyesal. “saya belum mendapat izin dari suami saya untuk menerima tamu laki-laki.”
“Tapi Hasan kan masih kecil?” jelas Fatimah.
“meskipun kecil, Hasan adalah seorang laki-laki. Besok saja dating lagi, ya? Saya akan minta izin dulu kepada suami saya,” kata Mutiah dengan menyesal.
Sambil menggeleng-gelengkan kepala, Fatimah pamit dan kembali pulang.
Besoknya, Fatimah dating lagi ke rumah Mutiah, kali ini ia ditemani oleh Hasan dan Husein. Bertiga mereka mendatangi rumah Mutiah. Setelah memberi salam dan dijwab gembira, masih dari dalam rumah, Mutiah bertanya: “ kau masih ditemani oleh Hasan, Fatimah? Suami saya sudah memberi izin.”
“Ya, juga ditemani oleh Husein,” jawab Fatimah.
“Ha? Kemarin kenapa tidak bilang? Yang dapat izin Cuma Hasan, dan Husein belum. Terpaksa saya tidak bias menerimanya juga,” dengan perasaan menyesal, Mutiah kali ini juga menolak.
Hari itu Fatimah gagal lagi untukbertemu dengan Mutiah. Dan keesokan harinya Fatimah kembali lagi, mereka disambutr baik oleh perempuan itu dirumahnya.
Keadan rumah Mutiah sangat sederhana, tak ada satupun perabotan mewah yang menghiasi rumah itu. Namun, semuanya teratiur reapi. Tempat tidur yang terbuat dengan kasar juga terlihat bersih, alasnya yang putih, dan baru dicuci. Bau daalkam ruangan itu harum dan sangat segar, membuat orang betah tinggal di rumah.
Fatimah sangat kagum melihat suasana yang sangat menyenangkan itu, sehingga Hasan dan Husain yang biasanya tak begitu betah di rumah orang, kali ini nampak asyik bermain-main.
“maaf ya, saya tak bias menemani Fatimah duduk dengan tenagn, sebab saya harus menyiapkan makan buat suami saya,” kata Mutiah sambil mondar-,mandir dari dapur ke ruang tamu.
Mendekati tengah hari, masakan itu sudah siap semuanya, kemudian ditaruh di atas nampan. Mutiah mengambil cambuk, yang juga ditaruh di atas nampan.
“Suamimu bekerja dimana?” Tanya Fatimah
“Diladang,” jawab Mutiah
“pengembala?” Tanya fatimah lagi.
“bukan, bercocok tanam.”
“Tapi, mengapa kau bawakan cambuk?”
“oh, itu?” sahut Mutiah dengan tersenyum. ”Cambuk itru kusediakan untuk keperluan lain. Maksudnya begini, kalau suami saya sedang makan, lalu kutanyakan apakah masakan saya cocok atau tidak? Kalau dia mengatakan cocok, maka tak akan terjadi apa-apa. Tetapi kalau dia bilang tidak cocok, cambuk itu akan saya berikan kepadanya, agar punggung saya dicambuknya, sebab berarti saya tidak bias melayani suami dan menyenangkan hatinya.”
“Apakah itu kehendak suamimu?” Tanya Fatimah keheranan.
“Oh, bukan! Suami saya adalah seorang yang penuh kasih sayang. Ini semua adalah kehendakku sendieri, agar aku jangan sampai menjadi istri yang durhaka kepada suami.”
Mendengar penjelasan itu, Fatimah menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian ia meminta diri, pamit pulang.
“pantas kalau Mutiah kelak menjadi seorang perempuan yang pertama kali masuk surga,” kata Fatimah dalam hati, ditengah pejalanannya pulang, “dia sangat berbakti kepada suami dengan tulus. Perilaku kesetiaan semacam itu bukanlah lambing perbudakakan wanita oleh kaum lelaki. Tapi, merupakan cermin bag citra ketulusan degan pengorbanan kaum wanita yamng harus dihargai perilaku yang sama.

0 komentar:

Posting Komentar