Gus Dur

Tidak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya agamamu.

Punokawan

Ojo Dumeh.

Sunan Kalijogo

jika sudah tiba zamannya dimana sungai-sungai hilang kedalamannya (banyak orang yang berilmu yang tidak amalkan ilmunya), pasar hilang gaungnya , wanita-wanita hilang malunya maka cepat-cepatlah kalian keluar 4 bulan dari desa ke desa dari pintu ke pintu JANGANLAH PULANG sebelum mendapat HIDAYAH dari Allah swt.

Gus Mus

Kalau anda dipuji sedangkan anda merasa tidak sepantasnya dipuji, kenapa anda senang? kalau anda dicela, sedangkan anda merasa tidak sepantasnya dicela, kenapa anda marah?.

Hadratus Sayaikh KH. Hasyim Asyari

Sesungguhnya perpecahan, pertikaian, saling menghina dan fanatik madzhab adalah musibah yang nyata dan kerugian besar.

Pondok Pesantren Tremas Pacitan

2 komentar

   

Pondok Tremas adalah salah satu pondok yang cukup tua umurnya, yang kalau ditinjau dari letak geografisnya berada di desa Tremas, Kecamatan Arjosari, kabupaten Pacitan. Sedangkan Pacitan adalah sebuah kota di tepi pantai selatan yang terletak pada garis lintang selatan : 8' 3 – 8' 17 bujur timur 11' 2 – 11' 28.

Dilihat dari segi jaraknya, yakni 135 Km dari kota Solo dan 70 Km dari kota Ponorogo, maka wajarlah kalau santri-santri yang berdatangan dari daerah lain harus berjalan kaki karena belum adanya sarana transportasi.

Sedangkan desa Tremas terletak pada 11 kilometer dari kota Pacitan ke utara dan1 kilometer dari kecamatan  Arjosari. Desa Tremas dipagari oleh bukit-bukit kecil yang melingkar dimana sebelah utara dan sebelah timur desa Tremas mengalir sungai Grindulu yang selalu membawa lumpur banjir di waktu musim penghujan. Oleh karenanya pondasi rumah penduduk desa tersebut rata-rata sangat tinggi bila dibandingkan dengan pondasi rumah penduduk di daerah yang bebas banjir.

Desa Tremas dibatasi oleh beberapa desa yaitu, sebelah utara dibatasi oleh desa Gayuhan, sebelah timur dibatasi oleh desa Jatimalang, sebelah selatan dibatasi oleh desa Arjosari dan di sebelah barat dibatasi oleh desa Sedayu.Mata pencaharian penduduknya adalah bertani, yakni bercocok tanam padi, kacang tanah, kelapa, pisang, sayur mayur dan sebagainya. Karena Pacitan merupakan daerah yang minus dan tandus maka tidaklah aneh jika masyarakatnya sedikit ketinggalan jika dibandingkan dengan masyarakat daerah lain, khususnya dalam bidang ekonomi.Dengan uraian tersebut kita dapat menggambarkan kehidupan rakyat di daerah itu, yang sedikit banyak dapat mempengaruhi keadaan Pondok Tremas

Tremas berasal dari dua kata yaitu Trem berasal dari kata Patrem yang berarti senjata atau keris kecil dan mas berasal dari kata emas yang berarti logam mulia yang biasa dipakai untuk perhiasan kaum wanita.

Kata ini berkaitan erat dengan cerita tentang dibukanya sebuah hutan yang akhirnya dinamakan Tremas, adapun yang pertama kali membuka hutan tersebut adalah seorang punggawa keraton Surakarta yang bernama Ketok Jenggot, atas perintah raja keraton Surakarta sebagai hadiah atas jasanya yang telah berhasil mengamankan keraton dari mara bahaya.

Dikisahkan pada suatu hari, Raja Keraton Surakarta memerintahkan kepada punggawanya yang bernama Ketok Jenggot untuk menjaga ketat kerajaannya, karena raja bermimpi bahwa hari yang akan datang mau ada bencana yang disebabkan datangnya seorang pencuri yang akan memasuki dan mengambil senjata pusaka yang ada di tempat penyimpanan, maka disuruhnya Ketok Jenggot menjaga dan mempertahankan dengan sebaik-baiknya.

Namun pada suatu hari datang seorang penyusup yang dengan kecerdikannya dapat masuk dalam keraton, akan tetapi usaha penyusup tersebut terlihat oleh Ketok Jenggot hingga terjadilah suatu perkelahian, setelah menghabiskan berpuluh-puluh jurus, maka dengan kesaktiannya, Ketok Jenggot berhasil memenangkan perkelaihan tersebut. Siapakah pencuri tersebut? tak lain adalah sang raja sendiri dengan maksud ingin menguji sampai dimana keperwiraan dan kesaktian Ketok Jengot.

Setelah kejadian itu, maka sang raja pun mengakui bahwa punggawanya tersebut benar-benar patuh dan sakti. Sebagai tanda atas kepatuhan dan kepahlawanannya itu maka sang raja memberikan hadiah kepada Ketok Jenggot berupa senjata Patrem Emas dan memberi tugas untuk membuka hutan di sebelah timur daerah Surakarta.

Demikianlah akhirnya setelah melalui perjuangan yang tidak ringan, Ketok Jenggot berhasil membuka hutan di sebelah timur daerah Surakarta, yang kemudian daerah tersebut bernama Tremas.

Perlu diketahui, bahwa sebelum Ketok Jenggot membuka hutan Tremas, di daerah tersebut sudah ada sekelompok orang yang lebih dahulu datang dan bermukim, yaitu R. Ngabehi Honggowijoyo (ayah Nyai Abdul Manan). Maka dari itu setelah meminta ijin dan memberi keterangan tentang tugasnya, barulah Ketok Jenggot mulai melaksanakan tugasnya dengan membuka sebagian besar hutan di daerah tersebut. Setelah tugasnya selesai, senjata Patrem Emas yang dibawanya itu ditanam ditempat beliau pertama kali membuka hutan tersebut, dan akhirnya daerah yang baru dibukanya tersebut diberi nama “Tremas“.

Demikianlah sekilas cerita tentang asal mula nama Tremas yang dikemudian hari digunakan untuk menyebut sebuah pesantren yang berdiri di daerah tersebut, sedangkan Ketok Jenggot sendiri akhirnya bermukim disitu sampai akhirhaya dan dimakamkan di daerah tersebut.

Sejarah

Pada abad ke XV M. bumi nusantara ini di bawah naungan kerajaan Majapahit, dan seluruh masyarakatnya masih memeluk agama Hindu atau Budha. Begitu juga daerah Wengker selatan atau di sebut juga Pesisir selatan ( Pacitan ) yang pada waktu itu daerah tersebut masih di kuasai seorang sakti beragama Hindu yang bernama Ki Ageng Buwana Keling, yang di kenal sebagai cikal bakal daerah Pacitan.

Menurut silsilah, asal usul KI Ageng Buwana Keling adalah putra Pejajaran yang di kawinkan dengan salah satu putri Brawijaya V yang bernama putri Togati. setelah menjadi menantu Majapahit maka KI Ageng Buwana Keling mendapat hadiah tanah di pesisir selatan dan di haruskan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. KI Ageng Buwana Keling berputra tunggal bernama Raden Purbengkoro yang setelah tua bernama KI Ageng Bana Keling. Kegoncangan masyarakat KI Ageng Buwana Keling di Pesisir selatan terjadi setelah datangnya Muballigh Islam dari kerajaan Demak Bintara, yang di pimpin oleh KI Ageng Petung ( R. Jaka Deleg / Kyai Geseng ), KI Ageng Posong ( R. Jaka Puring Mas / KI Ampok Boyo ) dan sahabat mereka Syekh Maulana Maghribi. Yang meminta KI Ageng Buwana Keling beserta semua rakyat di wengker selatan untuk mengikuti atau memeluk ajaran Islam.

Namun setelah KI Ageng Buwana Keling menolak dengan keras dan tetap tidak menganut agama baru yaitu agama Islam, maka tanpa dapat dikendalikan lagi terjadilah peperangan antara kedua belah pihak. Peperangan antara penganut agama Hindu yang dipimpin oleh Ki Ageng Buwana Keling dengan penganut agama Islam yang dipimpin oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi memakan waktu yang cukup lama , karena kedua belah pihak, memang terdiri dari orang-orang sakti. Namun akhirnya dengan keuletan dan kepandaian serta kesaktian para muballigh tersebut peperangan itu dapat dimenangkan Ki Ageng Petung dan pengikut-pengikutnya setelah dibantu oleh prajurit dari Adipati Ponorogo yang pada waktu itu bernama Raden Betoro Katong ( Putra Brawijaya V ).

Dari saat itulah maka daerah Wengker selatan atau Pacitan dapat dikuasai oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi, sehingga dengan mudah dapat menyiarkan agama Islam secara menyeluruh kepada rakyat hingga wafatnya, dan dimakamkan di daerah Pacitan.

Demikianlah dari tahun ke tahun sampai Bupati Jagakarya I berkuasa ( tahun 1826 ), perkembangan agama Islam di Pacitan maju dengan pesatnya, bahkan tiga tahun kemudian putra dari Demang Semanten yang bernama Bagus Darso kembali dari perantauannya mencari dan mendalami ilmu agama Islam di pondok pesantren Tegalsari Ponorogo di bawah asuhan Kyai Hasan Besari. Sekembalinya beliau dari pondok tersebut di bawah bimbingan ayahnya R. Ngabehi Dipomenggolo mulai mendirikan pondok di desa Semanten ( 2 Km arah utara kota Pacitan ). setelah kurang lebih satu tahun kemudian pindah ke daerah Tremas, maka dari saat itulah mulai berdiri Pondok Tremas.

Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa KH. Abdul Manan pada masa kecilnya bernama Bagus Darso. Sejak kecil beliau sudah terkenal cerdas dan sangat tertarik terhadap masalah-masalah keagamaan. Dalam masa remajanya beliau dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo untuk mempelajari dan memperdalam pengetahua agama Islam di bawah bimbingan Kyai Hasan Besari. Selama disana Bagus Darso selalu belajar dengan rajin dan tekun. Karena ketekunannya, kerajinannya serta kecerdasan yang dibawanya semenjak kecil itulah maka kepandaian Bagus Darso didalam menguasai dan memahami ilmu yang dipelajarinya melebihi kawan-kawan sebayanya, sehingga tersebutlah sampai sekarang kisah-kisah tentang kelebihan beliau. Diantara kisah tersebut adalah sebagai berikut :

Pada suatu malam yang dingin dimana waktu itu para santri Pondok Tegalsari sedang tidur pulas, sebagaimana biasasnya Kyai Hasasn Besari keluar untuk sekedar menjengu anak-anak didiknya yang sedang tidur di asrama maupun di serambi masjid. Pada waktu beliau memeriksa serambi masjid yang penuh ditiduri oleh para santri itu, tiba-tiba pandangan Kyai tertumbuk pada suatu pemandangan aneh berupa cahaya yang bersinar, dalam hati beliau bertanya, apakah gerangan cahaya aneh itu. Kalau cahaya kunang tentu tidak demikian, apalagi cahaya api tentu tidak mungkin, sebab cahaya ini mempunyai kelainan. kemudian dengan hati-hati, agar tidak sampai para santri yang sedang tidur, Kyai mendekati cahaya aneh itu. Makin dekat dengan cahaya aneh tersebut keheranan Kyai bertambah, sebab cahaya itu semakin menunjukkan tanda-tanda yang aneh. Dan kemudian apa yang disaksikan Kyai adalah suatu pemandangan yang sungguh luar biasa, ssebab cahaya itu keluar dari ubun-ubun salah satu santrinya. Kemudian diperiksanya siapakah sesungguhnya santri yang mendapat anugerah itu.Tetapi kegelapan malam dan pandangan mata yang sudah kabur terbawa usia lanjut menyebabkan usaha beliau gagal. Namun Kyai Hasan Ali tidak kehilangan akal, dengan hati-hati sekali ujung ikat kepala santri itu diikat sebagai tanda untuk mengetahui besok pagi kalau hari sudah mulai terang. Esoknya sehabis sembahyang Subuh, para santri yang tidur di serambi masjid disuruh menghadap beliau. Setelah mereka menghadap, dipandangnya satu demi satu santri tersebut dengan tidak lupa memperhatikan ikat kepala masing-masing. Disinilah beliau mengetahui bahwa sinar aneh yang semalam keluar dari ubun-ubun salah satu santri nya berasal dari salah satu santri muda pantai selatan ( Pacitan ) yang tidak lain adalah Bagus Darso. Dan semenjak itu perhatian Kyai Hasan Ali dalam mendidik Bagus Darso semakin bertambah, sebab beliau merasa mendapat amanat untuk mendidik seorang anak yang kelak kemudian hari akan menjadi pemuka dan pemimpin umat.

Demikianlah salah satu kisah KH. Abdul Manan pada waktu mudanya di Pondok Tegalsari dalam cerita. Dan setelah Bagus Darso dianggap cukup ilmuyang diperolehnya di Pondok Pesantren Tegalsari, beliau kembali pulang ke Semanten. Di desa inilah beliau kemudian menyelenggarakan pengajian yang sudah barang tentu bermula dengan sangat sederhana. Dankarena semenjak di Pondok Tegalsari beliau sudah terkenal sebagai seorang santri yang tinggi ilmunya, maka banyaklah orang Pacitan yang mengaji pada beliau. Dari sinilah kemudian di sekitar masjid didirikan pondok untuk para santri yang datang dari jauh. Namun beberapa waktu kemudian pondok tersebut pindah ke daerah Tremas setelah oleh ayahnya beliau dikawinkan dengan Putri Demang Tremas R. Ngabehi Hongggowijoyo. Sedang R. Ngabehi Honggowijoyo itu sendiri adalah kakak kandung R. Ngabehi Dipomenggolo.

Diantara faktor yang menjadi penyebab perpindahan Kyai Abdul Manan dari daerah Semanten ke desa Tremas, yang paling pokok adalah pertimbangan kekeluargaan yang dianggap lebih baik beliu pindah ke daerah Tremas. Pertimbangan tersebut antara adalah, karena mertua dan istri beliau menyediakan daerah yang jauh dari keramaian atau pusat pemerintahan, sehingga merupakan daerah yang sangat cocok bagi para santri yang ingin belajar dan memperdalam ilmu agama.

Berdasarkan pertimbangan itulah maka beliau kemudian memutuskan pindah dari Semanten ke daerah Tremas, dan mendirikan pondok pesantren yang kemudian disebut “ Pondok Tremas “. Demikianlah sedikit sejarah berdirinya Pondok Tremas yang dipelopori oleh beliau KH. Abdul Manan pada tahun 1830 M

Pondok pesantren Tegalsari, Penjaga Mataraman

0 komentar

Pondok pesantren Tegalsari, Jetis, Ponorogo penjaga Mataraman yang kokoh sepanjang masa. Meski kejayaannya telah hampir punah, warisan ponpes yang didirikan Kyi Ageng Hasan Besari pada 1742 ini, telah menyebarkan virus keberagaman yang kuat dikawasan Mataraman. Berkat ajaran Kyia Hasan Besari, para santrinya banyak menempati posisi penting dalam pelbagai profesi. Sunan Paku Buwono II atau lebih dikenal Sunan Kumbul, Bagus Burhan yang dikenal sebagai Raden Ngabei Ronggo Warsito adalah seorang filo-suf dan pujangga jawa yang masyur, Bagus Harun atau yang lebih dikenal dengan Kyai Ageng Basyariyah dari Sewulan, HOS Cokroaminoto tokoh pergerakan nasional yang juga menjadi guru Soekarno sekaligus mertua-nya, serta kiai besar lainnya.
Santri besarnya adalah Bagus Darso yang dikenal dengan sebutan KH Ab-dul Manan yang mendirikan Pondok Pesantren Termas, Pacitan pada 1830. Kebesaran pondok ini selain sampai ini masih berdiri di Ujung Selatan Ja­wa Timur dengan ribuan santrinya, alumninya juga menjadi orang-orang penting di negeri ini, sebut saja misal­nya Prof. DR H Mukti Ali, MA, mantan Mentri Agama di era orde baru. Para kiai besar yang pernah menge­nyam di PP Termas bisa disebutkan antara lain, Kyai Maksum Lasem Rem­bang, Kyai Abdul Hamid Pasuruan, Kyai Muslih Mranggen Demak, dan Kyai Muhammad Munawwir Krapyak serta Kyai Arwani Kudus. Selain itu juga ada Kyai Faqih Gresik, Kyai Ali Maksum, Krapyak Yogyakarta, Kyai Makhrus Ali Kediri, Kyai Inayat Banten, Kyai Adnan Trenggalek, dan Kyai Mas- duki, Cirebon, Jendral Sarbini Jakarta serta Jedral Abdul Mannan, Surabaya, Masih banyak lagi kyai besar lain­nya yang juga memiliki ponpes be­sar dan semuanya telah melahirkan tokoh-tokoh nasional yang kelak me­warnai keberagamaan di negeri nu­santara ini. Sebut saja misalnya Kyai Ahmad Sahal pendiri ponpes Gontor Ponorogo yang juga turut menjaga bumi Mataraman yang mampu menc­etak generasi Islam yang unggul di kancah internasional.

“Lahirnya kiai-kiai besar itu jika diu­rut bersumber dari Kyai Ageng Hasan Besari pendiri Ponpes Tegalsari, Pono­rogo,” jelas Habib Suwarno (keturunan kesembilan dari Kyai Ageng Hasan Be­sari ) kepada Suara Desa. Namun kebesaran pondok yang berdiri di Desa Tegal Sari, kecamatan Jetis, ini kini hanya menyisakan arte- fak-artefak dan banbgunan heritage yang masih berdiri merana. Masjid kuno peninggalan Kyai Besari tem­pat para santri tidur dan belajar ilmu agama ini pada 1977 direhab tanpa memperhatikan nilai-nilai sejarah, se­hingga banyak sudut bangunan yang tidak asli lagi, padahal dari masjid ini Kyai Besari berhasil mengislamkan masyarakat Ponorogo dan kawasan Gunung Lawu. “Meski pada tahun berikutnya direhab dan diusahakan kembali pada bangunan aslinya masih * tetap tidak bisa,” katanya.
 
Masjid tua ini tampak megah de­ngan 36 tiangnya yang menggambar­kan jumlah wali songo (3 + 6 = 9.) Tata letak pintu dan jendela masjid juga tiang – tiang terbuat dari kayu jati tanpa menggunakan pasak me­nyerupai arsitektur Masjid Agung Demak. Di Ponpes Tegalsari ini juga tersimpan kitab berusia 400 tahun yang ditulis oleh Ronggo Warsito santri Kyai Hasan Besari. Komplek Masjid terdiri dari 3 ba­gian; Dalem gede dulunya merupakan pusat pemerintahan. 2. Masjid. 3. Kom­plek makam Kyai Ageng Hasan Besari beserta keturunanya. “Dan kesederha­naan bisa dilihat dari simbol kubah diatas masjid yang hanya terbuat dari gentong tanah berukuran kecil. Yang pasti, seluruh bangunan khususnya ti- ang-tiang masjid, meski sudah berumur ratusan tahun, hingga saat ini masih utuh seperti ketika dulu dibangun oleh Kiai Ageng Besari,” katanya,

Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari

0 komentar



Gapura Menuju Pendopo Tegalsari
Jika ingin mengetahui ragam pesantren di Indonesia, khususnya daerah Jawa, kurang afdhol rasanya kalau belum menelisik lebih jauh keberadaan Pesantren Gebang Tinatar, atau yang sekarang dikenal masyarakat dengan sebutan Pesantren Tegalsari. Pesantren yang terletak didesa Tegalsari, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo ini adalah cikal bakal seluruh pesantren yang ada di Indonesia.
Seorang peneliti Belanda, Martin Van Bruinessen mengatakan bahwa sebelum keberadaan pesantren Tegalsari ini, belum ditemukan satu bukti-pun yang menunjukkan adanya sistem pesantren di Indonesia.  Tentu saja pandangan Martin ini berangkat dari gambaran pesantren sebagaimana yang jamak kita lihat sekarang. Yaitu: punya sistem kurikulum, punya masjid beserta pondokannya, dan pastinya: ada seorang Kyai yang mengasuh para santrinya. Dalam klasifikasi tersebut, pada abad 18 Gebang Tinatar-Tegalsari adalah yang pertama. Sewaktu diasuh oleh Kyai Kasan Besari selama 60 tahun (1800-1862 M) Gebang Tinatar-Tegalsari mencapai masa keemasannya. Ribuan santri dari berbagai daerah berduyun-duyun menuntut ilmu di pesantren ini.
Sejauh ini belum diketahui secara pasti kapan persisnya Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari didirikan. Menurut F. Fokkens dalam ‘ De Priesterschool te Tegalsari’ yang diterbitkan 1877, Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari sudah berdiri pada tahun 1742. Kyai Ageng Muhammad Besari, pendiri sekaligus pengasuh pertama pesantren ini dikenal Fokkens sebagai seorang pertapa yang mengasingkan diri. Hidupnya hanya diabdikan untuk beribadah kepada Tuhan. Tiap harinya ia hanya makan dari akar-akaran. Banyak orang yang berdatangan kesana untuk belajar Al-qur’an. Lambat laun pengikutnya semakin banyak dan kemudian menetap di desa yang dikenal dengan nama Tegalsari ini.
Pendopo Tegalsari
Karena banyaknya orang yang datang dan kemudian menetap di Tegalsari, maka didirikanlah sebuah masjid yang dikelilingi oleh pondokan-pondokan kecil untuk tempat tinggal para santri. Saat Fokkens mengunjungi Tegalsari, desa itu sudah tampak ramai dan maju. Pohon-pohon rindang berjajar rapi dipinggir-pinggir jalan desa yang dekat dengan pasar Wage itu. Sebuah pasar yang saat Fokkens kesana sudah ramai dikunjungi orang. Rumah-rumah penduduk terlihat besar-besar dengan halamannya yang luas. Memasuki area pesantren, Fokkens sudah mendapati sebuah rumah besar model pendopo dengan temboknya yang tebal.  Rumah itu adalah tempat tinggal sang Kyai. Masjid dibangun terpisah dari rumah kyai. Arsitektur masjid saat itu sudah terlihat mewah dan besar. Beratap dua sirap dan memiliki satu serambi. Lantainya setinggi empat kaki dan diberi tangga. Dibelakang masjid terdapat sebuah makam keluarga.  Disekeliling masjid terdapat pondokan-pondokan yang terbuat dari bambu. Lantai pondok juga terbuat dari bambu dan dibikin lebih tinggi dari permukaan tanah.  Didepannya terdapat teras yang bisa dipakai untuk istirahat. Disetiap kamar terdapat rak dari bambu tempat menyimpan buku dan kertas. Para santri memiliki lumbung-lumbung  padi sebagai tempat menampung kebutuhan makan mereka selama dipondok. Satu lumbung digunakan oleh empat sampai lima orang santri. Mereka menjaganya secara bergantian.
Selama dipondok, mereka tidak dipungut biaya sepeserpun. Para santri dari keluarga kaya mencukupi kebutuhan mereka dengan bekal dari keluarganya. Sedangkan santri dari keluarga miskin membantu kyai bekerja disawah untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Para santri kebanyakan berasal dari luar daerah ponorogo, seperti: Banten, Priyangan, Cirebon, Karawang, Yogyakarta, Surakarta, Kedu, Magelang dan Madiun. Pada saat diasuh oleh Kyai Kasan Besari, menurut Van Der Chijs, Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari telah memiliki sekitar 3000 an santri. Saking besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok. Bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, seperti: desa Nglawu, Bantengan, Malo, Joresan dan lain-lain.
Sejak awal didirikannya masjid dan pondokan-pondokan, Bahasa Arab sudah mulai diajarkan di Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari. Dan pada perkembangannya, kitab-kitab agama Islam juga banyak dikaji dipesantren ini. Hingga saat ini masih ditemukan beberapa kitab peninggalan masa awal Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari. Sebut saja misalnya: Al-Munhati, Jauharuttauhid, Jauharussamin Liummil Barohain dan kitab Tajwid. Tidak diketahui siapa penulis beberapa kitab tersebut. Namun dari tulisannya, diduga penulisnya adalah satu orang dan pernah belajar di Tanah suci Mekah. Kitab-kitab tersebut menggunakan keterangan berbahasa arab dan kertasnya juga tidak berasal dari daerah sekitar Tegalsari, melainkan kertas yang identik dengan kertas-kertas yang ada didaerah arab pada masa lalu. Tidak diketahui pula kapan kitab-kitab itu ditulis, hanya pada halaman pertama kitab Jauharussamin Liummil Barohain tertulis bulan Jumadil Awal tahun Alif. Selain itu, ditemukan juga Tiga jilid Kitab Fiqh Syarh Fathul Mu’in karangan Zainuddin Al-Malibari. Penulisan kitab Syarh tersebut dilakukan oleh beberapa orang dari beberapa generasi. Penulisnya adalah: Muhammad Jalalain, Hasan Ibrahim, Hasan Yahya, Hasan Ilyas, dan Muhammad Besari.
Terdapat juga satu bendel kitab yang dimungkinkan paling tua usianya. Sampulnya terbuat dari kulit dan kertasnya adalah kertas gedok dari Tegalsari. Pada halaman pertama bendelan kitab yang sudah sangat lusuh dan mulai hancur ini terdapat catatan proses terjadinya desa Tegalsari sebagai ‘tanah perdikan’. Disebutkan juga jumlah penduduk laki-laki dan perempuan yang tinggal disana pada masa awal berdiri. Selanjutnya, didalam bendelan kitab ini juga terdapat penggalan karya fiqh yang tidak jelas dikutip dari kitab apa. Yang jelas teksnya menggunakan huruf Arab Pegon atau Arab Melayu. Disamping itu, pada halaman berikutnya juga ditemukan Syarh kitab fiqh yang tidak lengkap berjudul “Al-Muharror” karangan Abul Qosim Arrafi (wafat 1226 M). Diperkirakan syarh kitab ini ditulis oleh Kasan Yahya pada tahun 1800-an. Terdapat juga penggalan kitab Fathul Wahhab karangan Zakariya Al-Ansharei (wafat 1277). Kitab lainnya yang terdapat dalam bendelan kitab itu adalah kitab Faroid. Namun tidak diketahui juga siapa penulis dan tahun penulisan dari kitab yang terakhir ini.
Ndalem Kasepuhan Tegalsari
Lebih lanjut, menurut J.F.C Gerishe, seorang ahli Literatur Jawa, selain mengajarkan Al-qur’an dan ilmu-ilmu agama Islam, Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari juga mengajarkan berbagai macam ilmu Kejawen dan ilmu Kesaktian. Dalam laporan yang disampaikannya di Nederlands Bijbelgenootschap di Amsterdam, Gerishe mengatakan: “Walaupun Tegalsari telah mengajarkan kepada 3000 santrinya bagaimana membaca Al-qur’an, tetapi disisi lain, disana juga mengajarkan rahasia-rahasia Budha dan kepercayaan Kejawen yang masih dipertahankan oleh kyai-kyai setelah masa transisi Islam di Jawa”.
Hal tersebut diatas, juga selaras dengan pandangan Simuh, seorang penulis buku-buku tentang Ronggowarsito. Ia mengatakan bahwa disamping memiliki perpustakaan yang berisi buku-buku agama Islam, Pesantren Tegalsari juga memiliki perpustakaan Kejawen. Kesimpulannya tersebut berangkat dari beberapa fakta tentang Kyai yang membawa Gebang Tinatar-Tegalsari menuju masa kejayaannya, yaitu: Kyai Kasan Besari. Selain terkenal dengan kesaktiannya, kyai Kasan Besari adalah menantu Pakubuwono IV. Dengan demikian, Kyai Kasan Besari adalah seorang priyayi. Dan sudah menjadi kebiasaan pada waktu itu bahwa setiap priyayi bisa dipastikan mempunyai koleksi kitab-kitab kejawen. Belum lagi, dibawah asuhannya telah lahir seorang pujangga jawa kenamaan; Raden Ngabehi Ronggowarsito. Hal ini memperkuat dugaan Simuh. Selain itu, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh LHKP-PD Muhammadiyah Yogyakarta yang berjudul ‘Kesultanan Majapahit’ menyebutkan bahwa ‘Kitab Jangka Jayabaya’ yang sampai saat ini terkenal dimasyarakat sebagai karangan Ronggowarsito maupun Prabu Jayabaya dari Kerajaan Kediri, sebenarnya adalah karya Kyai Kasan Besari dari Tegalsari ini. Kitab yang dipercaya masyarakat berisi ramalan ‘Jaman Edan’ dan ‘Ratu Adil’ itu sebenarnya adalah analisis sosial yang akan dijadikan acuan merumuskan ‘program pembudayaan’ didaerah Ponorogo dan sekitarnya. Sebagaimana namanya, ‘Jongko’ adalah ‘Penjongko’ atau hal-hal yang direncanakan. Jadi ia hanyalah proyeksi; bukan ramalan. Karena ditulis dalam bahasa sastra, maka dikemudian hari pesan tersiratnya tak banyak ditangkap oleh masyarakat. Namun demikian, Belanda menangkap tujuan Kyai Kasan Besari ini. Belanda kemudian menjebloskannya kedalam penjara selama beberapa tahun. Maka dari itu, penulisan kitab tersebut dilanjutkan oleh muridnya; Ronggowarsito.
R.Ng Ronggowarsito III
Dalam perkembangannya, pesantren ini telah melahirkan tokoh-tokoh ternama. Diantaranya adalah Pakubuwono II, raja Kasunanan Kartasurya. Dia mengenyam pendidikan di Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari ketika Kerajaan Kartasura sedang menghadapi ‘Geger Pecinan’. Pemberontakan kelompok Tionghoa tersebut dipimpin oleh cucu Sunan Mas yang bernama Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning. Karena kualahan, Pakubuwono II terpaksa menyingkir kearah timur dan kemudian berlindung dipesantren yang diasuh oleh Kyai Ageng Mohammad Besari ini. Setelah ‘nyantri’ disana beberapa lama, Pakubuwono II akhirnya dapat menduduki tahta kembali pada tahun 1743 M. Kemampuannya mengalahkan kelompok Mas Garendi tersebut tidak lepas dari bantuan Kyai Ageng Muhammad Besari beserta murid- muridnya. Atas jasa Kyai Ageng Besari mengembalikan kedudukan Pakubuwono II inilah, maka Tegalsari dibebaskan dari pembayaran pajak kepada kerajaan Kartasura atau disebut sebagai ‘Tanah Perdikan’.
Selanjutnya, pesantren ini juga melahirkan sastrawan besar yang karyanya tetap melegenda lintas zaman. Bagus Burhan, yang dikemudian hari bergelar Raden Ngabehi Ronggowarsito telah mondok dipesantren ini sejak usia 12 tahun. Pujangga terakhir Keraton Surakarta yang terkenal dengan ramalannya tentang ‘Zaman Edan’ ini adalah putra dari Mas Pajangswara dan cucu Yasadipura II. Seorang peneliti dari Jepang, Takashi Siraishi, dalam karyanya ‘Zaman Bergerak’ mengatakan: “Tidak ada yang dapat lebih jelas menggambarkan transformasi budaya di Surakarta pada abad XIX ini daripada tempat yang diduduki oleh R.Ng Ranggawarsita. Saat itu. melalui kemampuan bahasanya, ia melegitimasi kekuasaan”. Menurut Takashi, pada zamannya, tulisan-tulisan Ronggowarsito sudah disebarkan melalui percetakan, bukan melalui naskah tulisan tangan sebagaimana penulis-penulis yang lain. Dan juga, penikmat karya-karya Ronggowarsito bukanlah sekedar didalam lingkaran kraton, melainkan juga anggota komunitas Indo-Jawa-Tionghoa yang terpelajar.
Tak ketinggalan, Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau yang dikenal dengan HOS. Cokroaminoto adalah santri sekaligus keluarga dari Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari. Pahlawan Nasional yang lahir di Madiun 16 Agustus 1883 ini adalah ketua Syarekat Islam, sebuah organisasi pergerakan pertama di Indonesia. Pada masa kepemimpinan cucu Bupati Ponorogo, RT Tjokronegoro inilah Syarekat Islam mencapai masa kejayaannya. Dalam catatan Takashi Siraishi menyebutkan: “Pd hari Sabtu dibulan Juni, sekitar 2000 anggota baru diinisiasi (baca: diajak) oleh sekelompok orang..Keanggotaan SI meningkat dg pesat....Asisten Residen Surakarta memperkirakan jumlah anggotanya mencapai 35.000 orang pd awal Agustus”. Masyarakat berbondong-bondong menjadi anggota Syarekat Islam karena menganggap bahwa Cokroaminoto adalah ‘Ratu Adil’ sebagaimana yang diramalkan oleh Ronggowarsito. Selain itu, banyak tokoh pergerakan lainnya yang kemudian mendirikan berbagai aliran politik di Indonesia juga menjadi murid Cokroaminoto. Sebut saja misalnya: Soekarno yang kemudian menjadi presiden pertama Indonesia sekaligus pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI); Bung Tomo, pengobar perlawanan arek-arek Surabaya terhadap agresi Belanda, yang sekaligus juga pendiri partai Gerakan Indonesia (Gerindo); Semaoen dan Marco Kartodikromo yang kemudian menjadi tokoh awal Partai Komunis Indonesia (PKI), Kartosuwiryo, penggagas Negara Islam Indonesia (NII), dan banyak lagi tokoh pendiri organisasi pergerakan lainnya yang juga ‘nyantri’ kepada cicit Kyai Kasan Besari ini.
Pendiri Pesantren Gebang Tinatar
Sejarah mencatat, sepeninggal Kyai Ageng Muhammad Besari tampuk kepemimpinan Pesantren ini secara berturut-turut dipegang oleh: Kyai Kasan Ilyas (1773-1800), Kyai Kasan Yahya (1800), kyai Kasan Besari (1800-1862), dan Kyai Kasan Anom. Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke generasi. Tetapi, pada pertengahan abad ke-19 atau setelah generasi keempat keluarga Kyai Besari, Pesantren Tegalsari mulai surut.
Selanjutnya, pada saat pesantren ini dipimpin oleh Kyai Khalifah, terdapatlah seorang santri yang sangat menonjol diberbagai bidang keilmuan. Ia adalah Sulaiman Jamaluddin, cucu Pangeran Hadiraja; Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia terkenal sangat dekat dengan Kyainya. Maka tak heran seusai menyelesaikan belajarnya dipesantren ini, ia diambil menantu oleh Kyai Khalifah. Sulaiman Jamaludin kemudian menjadi Kyai muda yang sering dipercaya menggantikan Kyainya memimpin pesantren. Bahkan Kyai Khalifah akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor. Sebuah desa yang terletak disebelah timur laut dari Tegalsari. Lambat laun, pesantren baru di desa Gontor ini mengalami perkembangan yang begitu pesat sehingga mengalahkan popularitas Gebang Tinatar-Tegalsari. Pesantren di desa Gontor tersebut adalah cikal bakal pesantren besar yang kini dikenal masyarakat dengan nama Pondok Modern Gontor.
Masjid Tegalsari (tampak samping)
Demikianlah, meski sekarang masyarakat sekitar-pun sudah tidak begitu mengenal nama ‘Pesantren Gebang Tinatar’ ini, namun sejarah telah mencatatnya sebagai peletak dasar pondasi kepesantrenan di Nusantara. Meskipun kiprah Kyai Ageng Muhammad Besari dan Kyai Kasan Besari hanya melegenda dalam ingatan sebagian masyarakat−yang bahkan sering rancu dalam membedakan keduanya−, setidaknya nyaris semua jaringan pesantren di Indonesia, khususnya di Jawa hampir bisa dipastikan punya pertalian darah dengan keduanya. Bahkan menurut info yang sedang ditelusuri oleh penulis, karya-karya dari Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari ini banyak bertebaran di perpustakaan-perpustakaan universitas luar negeri seperti Harvard University dan Leiden University. Tak heran memang, untuk universitas yang tersebut terakhir ini cikal bakalnya adalah lembaga riset kepustakaan Jawa yang bernama Javanologi di Surakarta. Dan salah satu peneliti yang paling menonjol disana adalah santri Gebang Tinatar-Tegalsari; Ronggowarsito. 

Sumber: Gebang Tinatar

Sejarah Pondok Modern Gontor Darussalam

0 komentar



1. Pondok Gebang Tinatar (Pondok Tegalsari)
Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari.

Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain.
Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yang menjadi orang besar dan berjasa kepada bangsa Indonesia. Di antara mereka ada yang menjadi kyai, ulama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, negarawan, pengusaha, dll. Sekadar menyebut sebagai contoh adalah Paku Buana II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura; Raden Ngabehi Ronggowarsito (wafat 1803), seorang Pujangga Jawa yang masyhur; dan tokoh Pergerakan Nasional H.O.S. Cokroaminoto (wafat 17 Desember 1934).
Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang Paku Buana II nyantri di Pondok Tegalsari. Pada suatu hari, tepatnya tanggal 30 Juni 1742, di Kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi Susuhuhan Kuning, seorang Sunan keturunan Tionghoa. Serbuan yang dilakukan oleh para pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga Kartasura tidak siap menghadapinya. Karena itu Paku Buana II bersama pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke timur Gunung Lawu. Dalam pelariannya itu dia sampai di desa Tegalsari. Di tengah kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah kemudian Paku Buana II berserah diri kepada Kanjeng Kyai Hasan Besari. Penguasa Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari Kyai wara` itu; dia ditempa dan dibimbing untuk selalu bertafakkur dan bermunajat kepada Allah, Penguasa dari segala penguasa di semesta alam.
Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah dan berdoa serta berkat keikhlasan bimbingan dan doa Kyai Besari, Allah swt mengabulkan doa Paku Buana II. Api pemberontakan akhirnya reda. Paku Buana II kembali menduduki tahtanya. Sebagai balas budi, Sunan Paku Buana II mengambil Kyai Hasan Besari menjadi menantunya. Sejak itu nama Kyai yang alim ini dikenal dengan sebutan Yang Mulia Kanjeng Kyai Hasan Bashari (Besari). Sejak itu pula desa Tegalsari menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan. 
Setelah Kyai Ageng Hasan Bashari wafat, beliau digantikan oleh putra ketujuh beliau yang bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya digantikan oleh Kyai Bagus Hasan Bashari II yang kemudian digantikan oleh Kyai Hasan Anom. Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke generasi, dari pengasuh satu ke pengasuh lain. Tetapi, pada pertengahan abad ke-19 atau pada generasi keempat keluarga Kyai Bashari, Pesantren Tegalsari mulai surut. 
Alkisah, pada masa kepemimpinan Kyai Khalifah, terdapat seorang santri yang sangat menonjol dalam berbagai bidang. Namanya Sulaiman Jamaluddin, putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia sangat dekat dengan Kyainya dan Kyai pun sayang kepadanya. Maka setelah santri Sulaiman Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia diambil menantu oleh Kyai dan jadilah ia Kyai muda yang sering dipercaya menggantikan Kyai untuk memimpin pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan sang Kyai akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor.

2. Pondok Gontor Lama
Gontor adalah sebuah tempat terletak lebih kurang 3 KM sebelah timur Tegalsari dan 11 KM ke arah tenggara dari kota Ponorogo. Pada saat itu Gontor masih merupakan kawasan hutan yang belum banyak didatangi orang. Bahkan hutan ini dikenal sebagai tempat persembunyian para perampok, penjahat, penyamun, pemabuk, dll. 
Di tempat inilah Kyai muda Sulaiman Jamaluddin diberi amanat oleh mertuanya untuk merintis pondok pesantren seperti Tegalsari. Dengan 40 santri yang dibekalkan oleh Kyai Khalifah kepadanya, maka berangkatlah rombongan tersebut menuju desa Gontor untuk mendirikan Pondok Gontor.
Pondok Gontor yang didirikan oleh Kyai Sulaiman Jamaluddin ini terus berkembang dengan pesat, khususnya ketika dipimpin oleh putera beliau yang bernama Kyai Archam Anom Besari. Santri-santrinya berdatangan dari berbagai daerah di Jawa, konon banyak juga santri yang datang dari daerah Pasundan Jawa Barat. Setelah Kyai Archam wafat, pondok dilanjutkan oleh putera beliau bernama Santoso Anom Besari. Kyai Santoso adalah generasi ketiga dari pendiri Gontor Lama. Pada kepemimpinan generasi ketiga ini Gontor Lama mulai surut; kegiatan pendidikan dan pengajaran di pesantren mulai memudar. Di antara sebab kemundurannya adalah karena kurangnya perhatian terhadap kaderisasi.
Jumlah santri hanya tinggal sedikit dan mereka belajar di sebuah masjid kecil yang tidak lagi ramai seperti waktu-waktu sebelumnya. Walaupun Pondok Gontor sudah tidak lagi maju sebagaimana pada zaman ayah dan neneknya, Kyai Santoso tetap bertekad menegakkan agama di desa Gontor. Ia tetap menjadi figur dan tokoh rujukan dalam berbagai persoalan keagamaan dan kemasyarakatan di desa Gontor dan sekitarnya. Dalam usia yang belum begitu lanjut, Kyai Santoso dipanggil Allah SWT. Dengan wafatnya Kyai Santoso ini, masa kejayaan Pondok Gontor Lama benar-benar sirna. Saudara-saudara Kyai Santoso tidak ada lagi yang sanggup menggantikannya untuk mempertahankan keberadaan Pondok. Yang tinggal hanyalah janda Kyai Santoso beserta tujuh putera dan puterinya dengan peninggalan sebuah rumah sederhana dan Masjid tua warisan nenek moyangnya. 
Tetapi rupanya Nyai Santoso tidak hendak melihat Pondok Gontor pupus dan lenyap ditelan sejarah. Ia bekerja keras mendidik putera-puterinya agar dapat meneruskan perjuangan nenek moyangnya, yaitu menghidupkan kembali Gontor yang telah mati. Ibu Nyai Santoso itupun kemudian memasukkan tiga puteranya ke beberapa pesantren dan lembaga pendidikan lain untuk memperdalam agama. Mereka adalah Ahmad Sahal (anak kelima), Zainuddin Fannani (anak keenam), dan Imam Zarkasyi (anak bungsu). Sayangnya, Ibu yang berhati mulia ini tidak pernah menyaksikan kebangkitan kembali Gontor di tangan ketiga puteranya itu. Beliau wafat saat ketiga puteranya masih dalam masa belajar. 
Sepeninggal Kyai Santoso Anom Besari dan seiring dengan runtuhnya kejayaan Pondok Gontor Lama, masyarakat desa Gontor dan sekitarnya yang sebelumnya taat beragama tampak mulai kehilangan pegangan. Mereka berubah menjadi masyarakat yang meninggalkan agama dan bahkan anti agama. Kehidupan mo-limo: maling (mencuri), madon (main perempuan), madat (menghisap seret), mabuk, dan main (berjudi) telah menjadi kebiasaan sehari-hari. Ini ditambah lagi dengan mewabahnya tradisi gemblakan di kalangan para warok.
Demikianlah suasana dan tradisi kehidupan masyarakat Gontor dan sekitarnya setelah pudarnya masa kejayaan Pondok Gontor Lama.

Pondok Gontor Baru (Modern).

Ketiga putra Nyai Santoso yang sering disebut "trimurti" itulah yang menghidupkan kembali Pondok Gontor. Pembukaan kembali Pondok Gontor itu secara resmi dideklarasikan pada Senin Kliwon, 20 September 1926 bertepatan dengan 12 Rabi’ul Awwal 1345 dalam peringatan Maulid Nabi di hadapan masyarakat.
1. Pembukaan tarbiatul athfal, 1926.
Langkah pertama untuk menghidupkan kembali pondok gontor adalah dengan membuka Tarbiatul Athfal [TA], suatu program pendidikan tingkat dasar. Materi, sarana dan prasarana pendidikan sangat sederhana. Tetapi, berkat kesungguhan pengasuh gontor baru, usaha ini membangkitkan semangat belajar masyarakat Desa Gontor. Minat yang sangat tinggi ini diantisipasi dengan mendirikan cabang-cabang TA di desa-desa sekitar Gontor yang ditangani oleh kader yang telah disiapkan.
2. Pembukaan Sullamul Muta’allimin, 1932.
Setelah enam tahun TA berdiri, mulailah dipikirkan upaya untuk pengembangan TA dengan membuka program lanjutan yang di beri nama "Sullamul Muta’allimin" [SA], tahun 1932. Pada tingkat ini, para santri diajari secara lebih mendalam dan luas ilmu-ilmu agama, pidato, diskusi, juga diberi sedikit bekal untuk menjadi guru. Disamping itu, mereka juga diajari ketrampilan, kesenian, olahraga, kepanduan dan lainnya.
3. Pembukaan Kulliyatul Mu’allimmin Al-Islamiyyah, 1936.
Kehadiran TA dan SA telah menggugah minat belajar masyarakat. Perkembangan tersebut cukup menggembirakan hati dan sangat disyukuri oleh Pengasuh Pesanten. Kesyukuran yang ditandai dengan acara 10 tahun pondok, menjadi semakin lengkap dengan pembukaan program pendidikan baru tingkat menengah pertama dan menengah atas yang dinamakan Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah [KMI] atau sekolah guru islam, yang menandai kebangkitan sistem pendidikan modern di lingkungan pesantren.

BABAD PONOROGO

0 komentar



Ketika majapahit masih berkuasa di daerah ponorogo terdapat sebuah kademangan (kalau sekarang di sebut distrik) bernama kademangan kutu atau suru kubeng konon di katakan suru kubeng karena istana kademangan terdapat pohon suruh yang mengelilingi istana bahsa jawanya “suruh mubeng” pohon suruh itu kini masih ada di belakang sdn kutu kulon.

Demang dari kutu adalah ki demang soryo ngalam atau lebih di kenal dengan ki ageng kutu,ki ageng kutu yang bernama asli pujangga anom ketut suryo ngalam adalah seorang pembantu dekat bra kertabumi raja majapahit terakhir dan akhirnya ki ageng kutu memilih ke luar dari kerajaan majapahit karena tidak sejalan dengan bra kertabumi akhirnya membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis, yang kemudian dikenal dengan nama Wengker (atau Ponorogo saat ini). 
 
Upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit. Dan selanjutnya pandangan yang sama dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang nota bene sebagai penerus kejayaan Majapahit walaupun dengan warna Islamnya. Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu.
 
Raja pertama demak raden patah meberikan tugas kepada adiknya lembu kanigoro atau batoro katong untuk menaklukan wengker dan di suruh membabad tanah yang bundar seperti batok bertempat di antara sebelah timur gunung lawu dan sebelah barat gunung wilis tempat itu yang kemudian menjadi cikal bakal kabupaten ponorogo.
 
Di bantu oleh selo aji dan 40 santrinya Raden Katong akhirnya menemukan tempat seperti batok itu,yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan. Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme,setelah di babad banayk sekali penduduk yang terkena penyakit karena daerah itu terkenal angker pada akhirnya batoro katong mampu mengatasinya.
 
Di sisi lain ki ageng kutu yang merasa lebih dulu di wengker tidak terima, Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu yang terkenal sakti mandraguna. Kemudian dengan akal cerdasnya Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di iming-imingi akan dijadikan istri,Kemudian Niken Gandini inilah yang dimanfaatkan Batoro Katong untuk mengambil keris Koro Welang dan tombak tunggul naga, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. 
 
Pada hari jum’at wage (hari jum’at wage oleh masyrakat ponorogo terutama kaum abangan di kenal dengan hari naasnya ponorogo sehingga hari itu di keramatkan),pasukan ki ageng kutu yang di bantu dengan warok hongolono menyarang batorokatong waktu itu batorokatong dan para prajuritnya sedang melaksanakan ibadah sholat jum’at sehingga tidak sedikit korban dari batorokatong tetapi batoro katong dapat mengatasinya dengan bantuan selo aji dan kiyai mirah akhirnya ki ageng kutu lari.
 
Ki ageng kutu lari ke  arah selatan maju-maju sekarang daerah itu di namakan paju, lari lagi ke arah timur ki ageng kutu sembunyi di pohon kepuh lalu dengan ajian kiyai mirah kepuh itu rubuh daerah itu di namakan kepuhrubuh, lari lagi ke arah selatan ki ageng kutu sembunyi di pohon kepuh sebanyak 5 kali daerah itu di namakan poh limo (lima), lari lagi ke arah utara ki ageng kutu sembunyi di pohon kepuh lalu dengan ajian selo aji kepuh itu terbakar (gosong) sekarang daerah itu di namakan poh gosong, lari lagi ke utara  ki ageng kutu bersenbunyi di pohon maja yang besar batoro katong menghantam dengan tombak tunggul naga maja itu mati sekarang daerah di namakan mojomati, lari lagi ke arah selatan menyebrang sungai ki ageng kutu terlihat sekilas dan tidak nampak lagi bahsa jawanya “mak klebat sak klebatan” daerah itu di namakan kebatan, lari lagi ke arah selatan mendaki gunung dan menengelamkan diri di sebuah  belik (belik itu adalah belik gaib hanya orang tertentu yang bisa melihat belik itu), batoro katong dan pasukanya menuggu lama tapi ki ageng kutu tidak keluar-keluar airnya pun berbau busuk (bacin) batoro katong dan pasukanya mengira ki ageng kutu sudah meniggal akhirnya mereka turun tidak lama kemudian ki ageng kutu keluar dan dari atas berteriak “he…..batoro katong kalau kamu memang nyata-nyata sakti kejarlah aku” ki ageng kutu lari ke arah selatan ki ageng kutu tersandung sandung (jawa: kebancang-bancang) sekarang daerah itu bernama bancangan, ki ageng kutu lari ke arah selatan batoro katong mengeluarkan keris koro weleng menjadi gelap gulita seketika bahasa jawanya peteng ki ageng kutu menjadi kebingungan di saat itulah batorokatong mengarahkan keris itu ke leher ki ageng kutu hingga kepala ki ageng kutu putus dan terjatuh ke beji tapi tanpa kepala ki ageng kutu masih bisa berlari ke gunung tataung hingga sekarang belum di ketahui di mana Batoro Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini dimungkinkan dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.
Setelah  dihilangkannya Ki Ageng Kutu, Batoro Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara. Dari pintu inilah Katong kukuh menjadi penguasa Ponorogo, mendirikan istana, dan pusat Kota, dan kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun pasti.

Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Batara Katong, tentu bukannya tanpa rintangan. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar.

Lantas, bangunan-bangunan didirikan sehingga kemudian penduduk pun berdatangan. Setelah menjadi sebuah Istana kadipaten, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, yakni Niken Sulastri, sedang adiknya, Suromenggolo, tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah babad legenda "Pramana Raga". Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani. sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.

Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai di eliminasi dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog. Membuat kesenian tandingan, semacam jemblungan dan lain sebagainya. Para punggawa dan anak cucu Batoro Katong, inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam.

Dalam konteks inilah, keberadaan Islam sebagai sebuah ajaran, kemudian bersilang sengkarut dengan kekuasaan politik. Perluasan agama Islam, membawa dampak secara langsung terhadap perluasan pengaruh, dan berarti juga kekuasaan. Dan Batoro Katong-lah yang menjadi figur yang diidealkan, penguasa sekaligus ulama.

Beliau kemudian dikenal sebagai Adipati Sri Batoro Katong yang membawa kejayaan bagi Ponorogo pada saat itu, ditandai dengan adanya prasasti berupa sepasang batu gilang yang terdapat di depan gapura kelima di kompleks makam Batoro Katong dimana pada batu gilang tersebut tertulis candrasengkala memet berupa gambar manusia, pohon, burung ( Garuda ) dan gajah yang melambangkan angka 1418 saka atau tahun 1496 M.

Batu gilang itu berfungsi sebagai prasasti "Penobatan" yang dianggap suci. Atas dasar bukti peninggalan benda-benda pubakala tersebut dengan menggunakan referensi Handbook of Oriental History dapat ditemukan hari wisuda Batoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo, yakni pada hari Ahad Pon Tanggal 1 Bulan Besar, Tahun 1418 aka bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 M atau 1 Dzulhijjah 901 H. Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.
Bagi masyarakat Ponorogo, Batoro Katong adalah tokoh dan penguasa pertama yang paling legendaris dalam masyarakat Ponorogo. Sampai saat ini Batoro Katong adalah simbol kekuasaan politik yang terus dilestarikan oleh penguasa di daerah ini dari waktu ke waktu. Tidak ada penguasa Ponorogo, yang bisa melepaskan dari figur sejarah legendaris ini.
 
Sumber:ponorogo

Legenda REOG PONOROGO dan WAROK

0 komentar

reog151
Salah satu ciri khas seni budaya Kabupaten Ponorogo Jawa Timur adalah kesenian Reog Ponorogo. Reog, sering diidentikkan dengan dunia hitam, preman atau jagoan serta tak lepas pula dari dunia mistis dan kekuatan supranatural. Reog mempertontonkan keperkasaan pembarong dalam mengangkat dadak merak seberat sekitar 50 kilogram dengan kekuatan gigitan gigi sepanjang pertunjukan berlangsung. Instrumen pengiringnya, kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung dan terutama salompret, menyuarakan nada slendro dan pelog yang memunculkan atmosfir mistis, unik, eksotis serta membangkitkan semangat. Satu group Reog biasanya terdiri dari seorang Warok Tua, sejumlah warok muda, pembarong dan penari Bujang Ganong dan Prabu Kelono Suwandono. Jumlah kelompok reog berkisar antara 20 hingga 30-an orang, peran utama berada pada tangan warok dan pembarongnya.
reog241
Seorang pembarong, harus memiliki kekuatan ekstra. Dia harus mempunyai kekuatan rahang yang baik, untuk menahan dengan gigitannya beban “Dadak Merak” yakni sebentuk kepala harimau dihiasi ratusan helai bulu-bulu burung merak setinggi dua meter yang beratnya bisa mencapai 50-an kilogram selama masa pertunjukan. Konon kekuatan gaib sering dipakai pembarong untuk menambah kekuatan ekstra ini, salah satunya dengan cara memakai susuk, di leher pembarong. Untuk menjadi pembarong tidak cukup hanya dengan tubuh yang kuat. Seorang pembarong pun harus dilengkapi dengan sesuatu yang disebut kalangan pembarong dengan wahyu yang diyakini para pembarong sebagai sesuatu yang amat penting dalam hidup mereka. Tanpa diberkati wahyu, tarian yang ditampilkan seorang pembarong tidak akan tampak luwes dan enak untuk ditonton. Namun demikian persepsi misitis pembarong kini digeser dan lebih banyak dilakukan dengan pendekatan rasional. Menurut seorang sesepuh Reog, Mbah Wo Kucing “Reog itu nggak perlu ndadi. Kalau ndadi itu ya namanya bukan reog, itu jathilan. Dalam reog, yang perlu kan keindahannya“.

Legenda Cerita Reog 
 
Reog dimanfaatkan sebagai sarana mengumpulkan massa dan merupakan saluran komunikasi yang efektif bagi penguasa pada waktu itu. Ki Ageng Mirah kemudian membuat cerita legendaris mengenai Kerajaan Bantaranangin yang oleh sebagian besar masyarakat Ponorogo dipercaya sebagai sejarah. Adipati Batorokatong yang beragama Islam juga memanfaatkan barongan ini untuk menyebarkan agama Islam. Nama Singa Barongan kemudian diubah menjadi Reog, yang berasal dari kata Riyoqun, yang berarti khusnul khatimah yang bermakna walaupun sepanjang hidupnya bergelimang dosa, namun bila akhirnya sadar dan bertaqwa kepada Allah, maka surga jaminannya. Selanjutnya kesenian reog terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Kisah reog terus menyadur cerita ciptaan Ki Ageng Mirah yang diteruskan mulut ke mulut, dari generasi ke generasi. 

Menurut legenda Reog atau Barongan bermula dari kisah Demang Ki Ageng Kutu Suryonggalan yang ingin menyindir Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Sang Prabu pada waktu itu sering tidak memenuhi kewajibannya karena terlalu dipengaruhi dan dikendalikan oleh sang permaisuri. Oleh karena itu dibuatlah barongan yang terbuat dari kulit macan gembong (harimau Jawa) yang ditunggangi burung merak. Sang prabu dilambangkan sebagai harimau sedangkan merak yang menungganginya melambangkan sang permaisuri. Selain itu agar sindirannya tersebut aman, Ki Ageng melindunginya dengan pasukan terlatih yang diperkuat dengan jajaran para warok yang sakti mandraguna. Di masa kekuasaan Adipati Batorokatong yang memerintah Ponorogo sekitar 500 tahun lalu, reog mulai berkembang menjadi kesenian rakyat. Pendamping Adipati yang bernama Ki Ageng Mirah menggunakan reog untuk mengembangkan kekuasaannya.
Reog mengacu pada beberapa babad, Salah satunya adalah babad Kelana Sewandana. Babad Klana Sewandana yang konon merupakan pakem asli seni pertunjukan reog. Mirip kisah Bandung Bondowoso dalam legenda Lara Jongrang, Babad Klono Sewondono juga berkisah tentang cinta seorang raja, Sewondono dari Kerajaan Jenggala, yang hampir ditolak oleh Dewi Sanggalangit dari Kerajaan Kediri. Sang putri meminta Sewondono untuk memboyong seluruh isi hutan ke istana sebagai mas kawin. Demi memenuhi permintaan sang putri, Sewandono harus mengalahkan penunggu hutan, Singa Barong (dadak merak). Namun hal tersebut tentu saja tidak mudah. Para warok, prajurit, dan patih dari Jenggala pun menjadi korban. Bersenjatakan cemeti pusaka Samandiman, Sewondono turun sendiri ke gelanggang dan mengalahkan Singobarong. Pertunjukan reog digambarkan dengan tarian para prajurit yang tak cuma didominasi para pria tetapi juga wanita, gerak bringasan para warok, serta gagah dan gebyar kostum Sewandana, sang raja pencari cinta.
Versi lain dalam Reog Ponorogo mengambil kisah Panji. Ceritanya berkisar tentang perjalanan Prabu Kelana Sewandana mencari gadis pujaannya, ditemani prajurit berkuda dan patihnya yang setia, Pujangganong. Ketika pilihan sang prabu jatuh pada putri Kediri, Dewi Sanggalangit, sang dewi memberi syarat bahwa ia akan menerima cintanya apabila sang prabu bersedia menciptakan sebuah kesenian baru. Dari situ terciptalah Reog Ponorogo. Huruf-huruf reyog mewakili sebuah huruf depan kata-kata dalam tembang macapat Pocung yang berbunyi: Rasa kidung/ Ingwang sukma adiluhung/ Yang Widhi/ Olah kridaning Gusti/ Gelar gulung kersaning Kang Maha Kuasa. Unsur mistis merupakan kekuatan spiritual yang memberikan nafas pada kesenian Reog Ponorogo.
 
Warok

Warok sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya. Kedekatannya dengan dunia spiritual sering membuat seorang warok dimintai nasehatnya atas sebagai pegangan spiritual ataupun ketentraman hidup. Seorang warok konon harus menguasai apa yang disebut Reh Kamusankan Sejati, jalan kemanusiaan yang sejati.
reog231
Warok adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam pertarungan antara kebaikan dan kejahatan dalam cerita kesenian reog. Warok Tua adalah tokoh pengayom, sedangkan Warok Muda adalah warok yang masih dalam taraf menuntut ilmu. Hingga saat ini, Warok dipersepsikan sebagai tokoh yang pemerannya harus memiliki kekuatan gaib tertentu. Bahkan tidak sedikit cerita buruk seputar kehidupan warok. Warok adalah sosok dengan stereotip: memakai kolor, berpakaian hitam-hitam, memiliki kesaktian dan gemblakan.Menurut sesepuh warok, Kasni Gunopati atau yang dikenal Mbah Wo Kucing, warok bukanlah seorang yang takabur karena kekuatan yang dimilikinya. Warok adalah orang yang mempunyai tekad suci, siap memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. “Warok itu berasal dari kata wewarah. Warok adalah wong kang sugih wewarah. Artinya, seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik”.Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa” (Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin).
 
Syarat menjadi Warok

Warok harus menjalankan laku. “Syaratnya, tubuh harus bersih karena akan diisi. Warok harus bisa mengekang segala hawa nafsu, menahan lapar dan haus, juga tidak bersentuhan dengan perempuan. Persyaratan lainnya, seorang calon warok harus menyediakan seekor ayam jago, kain mori 2,5 meter, tikar pandan, dan selamatan bersama. Setelah itu, calon warok akan ditempa dengan berbagai ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Setelah dinyatakan menguasai ilmu tersebut, ia lalu dikukuhkan menjadi seorang warok sejati. Ia memperoleh senjata yang disebut kolor wasiat, serupa tali panjang berwarna putih, senjata andalan para warok. Warok sejati pada masa sekarang hanya menjadi legenda yang tersisa. Beberapa kelompok warok di daerah-daerah tertentu masih ada yang memegang teguh budaya mereka dan masih dipandang sebagai seseorang yang dituakan dan disegani, bahkan kadang para pejabat pemerintah selalu meminta restunya.
 
Gemblakan

Selain segala persyaratan yang harus dijalani oleh para warok tersebut, selanjutnya muncul disebut dengan Gemblakan. Dahulu warok dikenal mempunyai banyak gemblak, yaitu lelaki belasan tahun usia 12-15 tahun berparas tampan dan terawat yang dipelihara sebagai kelangenan, yang kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya. Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas seniman reog. Bagi seorang warok hal tersebut adalah hal yang wajar dan diterima masyarakat. Konon sesama warok pernah beradu kesaktian untuk memperebutkan seorang gemblak idaman dan selain itu kadang terjadi pinjam meminjam gemblak. Biaya yang dikeluarkan warok untuk seorang gemblak tidak murah. Bila gemblak bersekolah maka warok yang memeliharanya harus membiayai keperluan sekolahnya di samping memberinya makan dan tempat tinggal. Sedangkan jika gemblak tidak bersekolah maka setiap tahun warok memberikannya seekor sapi. Dalam tradisi yang dibawa oleh Ki Ageng Suryongalam, kesaktian bisa diperoleh bila seorang warok rela tidak berhubungan seksual dengan perempuan. Hal itu konon merupakan sebuah keharusan yang berasal dari perintah sang guru untuk memperoleh kesaktian.
Kewajiban setiap warok untuk memelihara gemblak dipercaya agar bisa mempertahankan kesaktiannya. Selain itu ada kepercayaan kuat di kalangan warok, hubungan intim dengan perempuan biarpun dengan istri sendiri, bisa melunturkan seluruh kesaktian warok. Saling mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan merupakan ciri khas hubungan khusus antara gemblak dan waroknya. Praktik gemblakan di kalangan warok, diidentifikasi sebagai praktik homoseksual karena warok tak boleh mengumbar hawa nafsu kepada perempuan.
Saat ini memang sudah terjadi pergeseran dalam hubungannya dengan gemblakan. Di masa sekarang gemblak sulit ditemui. Tradisi memelihara gemblak, kini semakin luntur. Gemblak yang dahulu biasa berperan sebagai penari jatilan (kuda lumping), kini perannya digantikan oleh remaja putri. Padahal dahulu kesenian ini ditampilkan tanpa seorang wanita pun.
 

Reog di masa sekarang

Seniman Reog Ponorogo lulusan sekolah-sekolah seni turut memberikan sentuhan pada perkembangan tari reog ponorogo. Mahasiswa sekolah seni memperkenalkan estetika seni panggung dan gerakan-gerakan koreografis, maka jadilah reog ponorogo dengan format festival seperti sekarang. Ada alur cerita, urut-urutan siapa yang tampil lebih dulu, yaitu Warok, kemudian jatilan, Bujangganong, Klana Sewandana, barulah Barongan atau Dadak Merak di bagian akhir. Saat salah satu unsur tersebut beraksi, unsur lain ikut bergerak atau menari meski tidak menonjol. Beberapa tahun yang lalu Yayasan Reog Ponorogo memprakarsai berdirinya Paguyuban Reog Nusantara yang anggotanya terdiri atas grup-grup reog dari berbagai daerah di Indonesia yang pernah ambil bagian dalam Festival Reog Nasional. Reog ponorogo menjadi sangat terbuka akan pengayaan dan perubahan ragam geraknya.

sumber: ariesaksono.wordpress.com

Lembu Kanigoro (Batoro Katong), Penguasa Pertama Kabupaten Ponorogo

0 komentar


Raden Katong, yang kemudian lazim disebut Batoro Katong, bagi masyarakat Ponorogo mungkin bukan sekedar figur sejarah semata. Hal ini terutama terjadi di kalangan santri yang meyakini bahwa Batoro Katong-lah penguasa pertama Ponorogo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Ponorogo.


Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha di-Islamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya.

Berdasarkan catatan sejarah keturunan benerasi ke-126 beliau yaitu Ki Padmosusastro, disebutkan bahwa Batoro Katong dimasa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak Kali. Beliau adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari garwo pangrambe (selir yang tinggi kedudukannya).

Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk di-Islamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Campa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri Campa oleh Prabu Brawijaya V memunculkan reaksi protes dari elit istana yang lain. Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam. Seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali.

Tokoh yang terakhir ini, kemudian desersi untuk keluar dari Majapahit, dan membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis, yang kemudian dikenal dengan nama Wengker (atau Ponorogo saat ini). Ki Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan daerah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu ini dinamakan Kutu, kini merupakan daerah yang terdiri dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis.

Ki Ageng Kutu-lah yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut Reog. Dan reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak). Dan Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk.

Pada akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit. Dan selanjutnya pandangan yang sama dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang nota bene sebagai penerus kejayaan Majapahit walaupun dengan warna Islamnya. Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu.

Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang putra terbaiknya yakni yang kemudian dikenal luas dengan Batoro Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain.

Raden Katong akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan. Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme.

Singkat cerita, terjadilah pertarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan akal cerdasnya Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di iming-iming akan dijadikan istri.

Kemudian Niken Gandini inilah yang dimanfaatkan Batoro Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringin-Anom Sambit Ponorogo. Hari ini oleh para pengikut Kutu dan masyarakat Ponorogo (terutama dari abangan), menganggap hari itu sebagai hari naas-nya Ponorogo.

Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu ini disebut sebagai Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal. Batoro Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini dimungkinkan dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.

Setelah dihilangkannya Ki Ageng Kutu, Batoro Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara. Dari pintu inilah Katong kukuh menjadi penguasa Ponorogo, mendirikan istana, dan pusat Kota, dan kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun pasti.

Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Batara Katong, tentu bukannya tanpa rintangan. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar.

Lantas, bangunan-bangunan didirikan sehingga kemudian penduduk pun berdatangan. Setelah menjadi sebuah Istana kadipaten, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, yakni Niken Sulastri, sedang adiknya, Suromenggolo, tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah babad legenda "Pramana Raga". Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani. sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.

Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai di eliminasi dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog. Membuat kesenian tandingan, semacam jemblungan dan lain sebagainya. Para punggawa dan anak cucu Batoro Katong, inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam.

Dalam konteks inilah, keberadaan Islam sebagai sebuah ajaran, kemudian bersilang sengkarut dengan kekuasaan politik. Perluasan agama Islam, membawa dampak secara langsung terhadap perluasan pengaruh, dan berarti juga kekuasaan. Dan Batoro Katong-lah yang menjadi figur yang diidealkan, penguasa sekaligus ulama.

Beliau kemudian dikenal sebagai Adipati Sri Batoro Katong yang membawa kejayaan bagi Ponorogo pada saat itu, ditandai dengan adanya prasasti berupa sepasang batu gilang yang terdapat di depan gapura kelima di kompleks makam Batoro Katong dimana pada batu gilang tersebut tertulis candrasengkala memet berupa gambar manusia, pohon, burung ( Garuda ) dan gajah yang melambangkan angka 1418 saka atau tahun 1496 M.

Batu gilang itu berfungsi sebagai prasasti "Penobatan" yang dianggap suci. Atas dasar bukti peninggalan benda-benda pubakala tersebut dengan menggunakan referensi Handbook of Oriental History dapat ditemukan hari wisuda Batoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo, yakni pada hari Ahad Pon Tanggal 1 Bulan Besar, Tahun 1418 saka bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 M atau 1 Dzulhijjah 901 H. Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.

Batoro Katong dikenal memiliki sebuah pusaka tombak bernama Kyai Tunggul Naga. Tombak ini memiliki pamor kudung, tangkainya dari sulur pohon jati dan terdapat ukiran naga, dengan ukuran panjang kira-kira 60 cm.

Ada dua versi tentang asal muasal tombak pusaka tersebut. Yang pertama versi keturunan Demang Kutu Ki Ageng Suryangalam dan versi Babad Ponorogo.

Versi keturunan Demang Kutu, menyebutkan bahwa tombak Kyai Tunggul Naga dulunya milik Ki Ageng Suryangalam yang menjadi demang di Kutu. Dimana, Demang Suryangalam yang sebelumnya pujangga di istana Majapahit pergi meninggalkan istana karena kecewa. Nasehat-nasehatnya untuk menata negeri Majapahit tidak didengarkan oleh Prabu Kertabhumi. Menjelang runtuhnya kerajaan besar itu, keadaan negeri semrawut, bobrok. Banyak gerakan separatis ingin memisahkan diri dari Majapahit.

Sikap oposan Demang Suryangalam ini membuat Prabu Kertabhumi marah, ia kemudian menyuruh salah seorang puteranya yang bernama Raden Batara Katong untuk menangkap Demang Suryangalam. Setelah berhasil mengalahkan Demang Kutu, Raden Batara Katong kemudian memiliki tombak Kyai Tunggul Naga. Adapun tombak itu aslinya berasal dari Tuban, pusaka Adipati Tuban Ranggalawe. Tombak Kyai Tunggul Naga dikenal sebagai pusaka yang ampuh.

Sedang menurut versi Babad Ponorogo, tombak Kyai Tunggul Naga diperoleh Batara Katong dari hasil bersemadi di sebuah tanah lapang tanpa rumput sehelai pun yang disebut ara-ara. Waktu itu Ponorogo masih disebut Wengker. Raden Batara Katong ditemani oleh Ki Ageng Mirah, Patih Seloaji dan Jayadipa. Dari ara-ara itu didapatkan tombak Kyai Tunggul Naga, payung dan sabuk.

Sampai saat ini, nama Batoro Katong, di abadikan sebagai nama Stadion dan sebuah jalan utama Ponorogo. Batoro Katong-pun selalu di ingat pada peringatan Hari Jadi Ponorogo, tanggal 1 Suro. Pada saat itu, pusaka tumbak Kara Welang di kirab dari makam Batoro Katong di kelurahan Setono, Kota Lama, menuju Pendopo Kabupaten. Menurut Amrih Widodo (1995), pusaka sebagai artefact budaya memang seringkali diangkat statusnya oleh kekuasaan pemerintah lokal, sebagai totems, suatu yang secara sengaja di keramatkan dan menjadi simbol identitas lokal.

Hal inilah yang menunjukkan Batoro Katong memang tak bisa lepas dari alam bawah sadar masyarakat Ponorogo, dan menjadi simbol masa lalu (sejarah) sekaligus bagian dari masa kini. Batoro Katong bukan sekedar bagian dari realitas masa lalu, namun adalah bagian dari masa kini. Hidup di alam hiperealitas, dan menjadi semacam belief yang boleh emosi, keyakinan, kepercayaan masyarakat. Mengutip The Penguin Dictionary of Psycology, Niniek L.Karim mendefinisikan belief sebagai penerimaan emosional terhadap suatu proposisi, pernyataan dan doktrin tertentu.

Bagi kalangan tokoh-tokoh muslim tradisional, Batoro Katong tidak lain adalah peletak dasar kekuasaan politik di Ponorogo, dan lebih dari itu seorang pengemban misi dakwah Islam pertama. Posisinya sebagai penguasa sekaligus ulama pertama Ponorogo inilah yang menjadi menarik untuk dilacak lebih jauh, terutama dalam kaitan membaca wilayah alam bawah sadar yang menggerakkan kultur politik kalangan pesantren, khususnya elit-elitnya (kyai dan para pengasuh pesantren) di Ponorogo.

Alam bawah sadar inilah yang menurut psikolog Freudian, dominan menggerakkan perilaku manusia. Dan alam bawah sadar ini terbentuk dari tumpukan keyakinan, nilai, trauma-trauma yang terjadi dimasa lalu, yang kemudian hidup terus di bawah kesadaran individu dan suatu masyarakat dari waktu ke waktu.

Bagi masyarakat Ponorogo, Batoro Katong adalah tokoh dan penguasa pertama yang paling legendaris dalam masyarakat Ponorogo. Sampai saat ini Batoro Katong adalah simbol kekuasaan politik yang terus dilestarikan oleh penguasa di daerah ini dari waktu ke waktu. Tidak ada penguasa Ponorogo, yang bisa melepaskan dari figur sejarah legendaris ini.