Gus Dur

Tidak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya agamamu.

Punokawan

Ojo Dumeh.

Sunan Kalijogo

jika sudah tiba zamannya dimana sungai-sungai hilang kedalamannya (banyak orang yang berilmu yang tidak amalkan ilmunya), pasar hilang gaungnya , wanita-wanita hilang malunya maka cepat-cepatlah kalian keluar 4 bulan dari desa ke desa dari pintu ke pintu JANGANLAH PULANG sebelum mendapat HIDAYAH dari Allah swt.

Gus Mus

Kalau anda dipuji sedangkan anda merasa tidak sepantasnya dipuji, kenapa anda senang? kalau anda dicela, sedangkan anda merasa tidak sepantasnya dicela, kenapa anda marah?.

Hadratus Sayaikh KH. Hasyim Asyari

Sesungguhnya perpecahan, pertikaian, saling menghina dan fanatik madzhab adalah musibah yang nyata dan kerugian besar.

Pesantren, Pendidikan Elitis atau Populis?

0 komentar

                                                  Selasa, 30 Maret 1976
                        
                  
Oleh KH Abdurrahman Wahid


      Seleksi dalam Pesantren

       Arah pendidikan ditentukan oleh mereka yang berkelibat dalam kegiatan pendidikan. Untuk siapakah seluruh sistem pendidikan pesantren? Bilamana hal ini dipertanyakan untuk siapakah seluruh sistem pendidikan pesantren, jawaban bisa diberikan dalam bentuk konstatasi tentang pesantren dalam kalangan pesantren sendiri sebagi berikut: "bilamana dari puluhan ribu santri yang tinggal di pesantren setengah persen saja di antaranya dapat menjadi ahli agama, itu sudah merupakan hasil yang maksimal". Hal tersebut mencerminkan proses seleksi yang ketat sekali dalam pesantren masa sekarang. Inilah titik balik dari perkembangan pesantren yang menjalani masa hidupnya ratusan tahun hingga sekarang. Penyaringan yang ketat adalah penanaman benih elitisme dalam pesantren. Hal semacam ini sebenarnya berbeda dengan pesantren sebagaimana dapat ditelusuri kekhasannya pada titik mulanya yang paling awal. Di masa-masa yang lalu pesantren itu adalah satu-satunya lembaga pendidikan. Dalam saat di mana semua mereka yang memiliki darah biru kebangsawanan dan mereka yang karena hubungannya dengan keraton dididik dalam lembaga pendidikan kekeratonan, pesantren menampung semua lapisan masyarakat yang tidak ditampung dalam lembaga pendidikan keraton. Karena itu dulunya pesantren sebagai lembaga pendidikan adalah sebuah lembaga pendidikan umum; di dalamnya tidak hanya diajarkan agama.
Dalam perkembangannya akhir-akhir ini tampak kecenderungan untuk menciptakan pesantren sebagai lembaga pencetakan para ulama. Penyempitan kriterium dengan sendirinya bergerak menuju penciutan lapangan bagi orang yang akan dikirim ke pesantren yaitu orang-orang yang merasa dirinya santri dan memiliki komitmen kepada Islam sebagai ideologi. Dengan mempertahankan kriterium semacam ini maka bisa dilihat bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan di mana tingkat drop-out cukup besar.
ltulah perkembangannya pada tahun menjelang kemerdekaan sampai kira-kira tahun tujuhpuluhan ini. Pada tahun-tahun terakhir timbul elemen baru di mana pesantren merupakan penampung ribuan bahkan puluhan ribu mereka yang karena alasan tertentu tidak dapat ditampung di sekolah-sekolah luar baik karena fasilitas, biaya dan lain sebagainya, maupun karena tak dapat memenuhi standarnisasi entah itu akhiak atau persyaratan lain yang terdapat di sekolah umum. Bahkan pada tahun-tahun terakhir pesantren itu juga dapat tambahan fungsi untuk menampung anak-anak nakal yang tidak dapat diatasi oleh sekolah-sekolah lain atau oleh orang tuanya. Malah pesantren juga menjadi penampung anak-anak yang menjadi korban erosi kultur dalam kota-kota besar.
Jadi dengan demikian, tidak dapat ditentukan dengan persis dari mana asal usul kalangan yang mengirim anak-anaknya ke pesantren. la selalu berubah menurut perubahan fungsi dari pesantren itu sendiri. Sepintas kelihatan semua pesantren sama. Di sana ada kiai, santri, dan tempat penampung. Akan tetapi selebihnya berbeda, seperti sidik jari yang senantiasa berlainan menurut telapak setiap tangan.
    Bisa saja dikatakan bahwa ada orientasi elitis dalam pesantren. ltupun tergantung lagi pada pemahaman kita tentang elitisme. Bilamana dengan orientasi elitis dimaksudkan tingkat sosial-ekonomis dari orang tua anak yang dikirim ke pesantren, juga dalam hal ini tidak dapat dilihat kesamaan dari pesantren yang satu ke pesantren yang lainnya. Bisa disebut beberapa contoh seperti pesantren tarekat dan Pesantren Tebuireng yang kebanyakan menampung mereka dari kalangan bawah. Sedangkan pesantren seperti Gontor jelas kelihatan bahwa yang ditampung di sana adalah mereka dari kalangan pedagang dan intelektual. Anak-anak dari mereka yang dianggap kaum pemikir dalam masyarakat, guru dan lain sebagainya. Dari segi ini bisa dilihat orientasi elitis di sana.
Pada pihak lain konsep elitisme dalam pesantren juga tak bisa diterima secara serta-merta. Melihat tempatnya yang di desa dia menampung mereka yang karena alasan sosial ekonomis tidak tertampung di tempat lain. Ini berarti juga dia menampung mereka yang tidak memiliki privilese-privilese sosial. Hasilnyapun bisa dilihat. Pesantren senantiasa menghasilkan pemimpin masyarakat yang pandangan hidupnya populis, baik itu dari kalangan ABRI maupun dari Parpol/Ormas yang tidak terikat pada stratifikasi sosial yang beraneka ragam itu.

Mengubah Wajah Pesantren: Matangkan Kerangkanya
    Bahwa pesantren lebih memberikan kesan sebagai lembaga pendidikan keagamaan mungkin itu adalah kesan yang sulit dielakkan. Akan tetapi pengertiannya harus dijelaskan terlebih dahulu. Karena ada memang pesantren di mana dikhususkan  pendidikannya untuk mencapai spesialisasidalam bidang keagamaan.Misalnya di Tebuireng di mana diadakan spesialisasi tentang Hadis, ilmu Tafsir, atau di Krapyak di mana dibuat spesialisasi tentang ilmu-ilmu bahasa Arab. Akan tetapi ada juga yang hanya memberikan pelajaran agama sebagai dasar. Dan tidak sampai menuju kepada spesialisasi.
Dari segi pandangan lain bisa dikatakan sebagai berikut. Pendidikan keusahawanan misalnya bukanlah suatu yang asing dalam pesantren. Terutama tentang konskuensi dari pendidikan semacam itu yaitu etos kerja keras. Hal semacam itu selalu menjadi tekanan pokok dalam pendidikan di pesantren. Akan tetapi pendidikan kepengusahaan tersebut tidak terkoordinir dan tidak direncanakan dan untuk itu dibuat kerangkanya. Akibatnya akan keluar usahawan-usahawan yang mencari-cari jalan sendiri. Mereka akan menjadi usahawan-usahawan yang otodidak, yang tidak mendekati masalahnya dari segi-segi ilmiah tetapi berdasarkan intuisi.

    Akhir-akhir ini ada upaya memasukkan ke dalam pesantren pendidikan keterampilan. Usaha semacam itu adalah usaha yang terpuji dan bukanlah suatu yang buruk dalam dirinya. Akan tetapi kegunaannya menurun bilamana sistem pendidikan keterampilan semacam itu hanyalah keterampilan demi keterampilan dan meniru sekolah-sekolah seperti ASMI misalnya. Sekolah-sekolah semacam itu adalah konsumsi kota besar, dia tidak berfungsi bagi sekolah yang tempatnya di desa dan berorientasi menuju desa, karena memang bukan semua tamatannya akan menuju ke kota. Stenografi, demikian pula pelajaran mengetik tidaklah terlalu penting bagi masyarakat di desa. Yang jauh lebih penting ialah pendidikan pengusahaan yang menitik beratkan misalnya bagaimana melihat desa sebagai suatu potensi pasaran, serta bagaimana mengolahnya.
Dan kita pun melihat lagi perubahan sebagaimana yang dilakukan di pesantren Darul Falah di Bogor. Di sana pelajaran agama sangat minim. Di sana dilatih keterampilan pertanian, petemakan dan lain-lain. Sebenarnya hampir-hampir bisa dikatakan bahwa bukanlah pelajaran agama yang diberikan di sana, tetapi ilmu untuk menyadari pentingnya arti agama.
Yang terpenting ialah pada mereka ditanam kesadaran dan keinginan mengubah kehidupan masyarakat melalui penciptaan etos kerja berdasarkan suatu pandangan agama di bidang pertanian misalnya. Dan itu tidaklah menjadi soal. la bukanlah suatu yang buruk. Asal saja memang ada kerangkanya. Di sinilah letak kelemahan program keterampilan yang diadakan departemen agama. Tidak diciptakan kerangkanya. Sepanjang yang saya dengar hanya untuk menumbuhkan sifat keterampilan di kalangan
santri, agar santri bisa mencari makannya sendiri. Akan tetapi yang lebih dibutuhkan ialah kerangka yang mampu menumbuhkan sikap jiwanya. Sebab kalau hanya keterampilan yang diajarkan, tanpa dibilang mengapa dan apa gunanya, hasilnya seperti yang disaksikan sekarang. Banyak pesantren yang menolak pendidikan keterampilan dari departemen agama. Ini suatu kenyataan yang harus diakui. Program semacam ini hanyalah diterima oleh pesantren yang kecil saja sedangkan pesantren besar dan berpengaruh menolaknya. Kalaupun mereka menerima, hanyalah sebagai hiasan bibir belaka. Dan tidak ada yang menerima secara terbuka dan menjadikannya suatu program, karena memang tidak ada kerangkanya. Dan karena itu orang tidak merasakan komitmen kepada suatu tujuan.

Hidupkan Sikap Sosial Penunjang
    Perkembangan masyarakat banyak menuntut perubahan yang harus dilakukan oleh pesantren. Tentu saja hal semacam ini tidaklah mudah mengingat tradisi lembaga pesantren yang sudah berabad-abad lamanya. Banyak hambatan yang harus dilewatinya sebelum suatu jenis perubahan tertentu ditawarkan. Hambatan pertama adalah sebenarnya soal pimpinan. Kepeminpinan pesantren adalah suatu lembaga yang turun-temurun atau modelnya hierarkis. Karena itu sulit untuk diadakan perpindahan yang wajar secara teratur baik dan pembinaan calon penggantinya. Ini yang harus dipecahkan. Dan cara pemecahannya adalah komunikasi yang lebih efekrif antara calon pemimpin pesantren. Bilamana mereka yang tua telah mapan dan sulit berubah, maka hal semacam itu haruslah lebih dituntut dari mereka yang lebih muda. Dari mereka yang lebih muda diminta suatu pemikiran dalam konteks makro, yaitu memikirkan pesantren secara keseluruhan dan bukannya pesantrennya sendiri saja.
Masalah kedua ialah masalah pembiayaan pesantren. Dulu pesantren didukung oleh masyarakat dalam pembiayaan dan sebagainya. Akan tetapi hal semacam itu pada masa dahulu merupakan suatu kebiasaan sosial dan karena itu tidak dilembagakan. Akan tetapi setelah kita sanggup lagi mengembangkan etik sosial yang membiasakan masyarakat membiayainya sekarang, akhirnya pesantren kekeringan biaya. Lantas mereka akan berbondong-bondong memalingkan mukanya kepada pemerintah untuk meminta bantuan. Sedangkan pemerintah sudah dibebani beban yang berat dalam pembiayaan pendidikan. Pada hemat saya inilah suatu kekeliruan. Kesalahannya bukan pada fakta memintakan bantuan kepada pemerintah. Akan tetapi kesalahan terbesar ialah pihak pesantren tidak mampu menciptakan sikap sosial tertentu yang memungkinkan atau mendorong masyarakat membiayai pesantren. Hanya kemauan yang kuat dari pihak pesantren dan masyarakat mampu menumbuhkan sikap sosial semacam itu.
                       !!!!!

Kerudung dan Kesadaran Beragama

0 komentar

     Jakarta, Sabtu 29 Januari 1983
                           

Oleh Abdurrahman Wahid

    Kerudung adalah 'pemandangan' biasa di kalangan kaum muslimin yang taat beragama. Tidak semua wanita muslim dikenal dengan sebutan muslimat, menggunakannya. Namun porsi pemakainya cukup besar guna melekatkan predikat 'biasa' di atas. Ke pasar, rumah sakit, masjid maupun pesta dan upacara, pendeknya ke semua keperluan di luar rumah , kerudung selalu di pakai, begitu juga dirumah, kalau sedang ada tamu.
Ada yang berwarna-warni, terkadang dihiasi renda dan sulaman indah: ada juga yang polos, hanya pinggirnya saja yang disentuh benang jahitan. Ada yang memang dipakai menutup rambut seluruhnya, namun tidak kurang pula yang hanya disangkutkan pada bahu, tidak sampai menghalangi pandangan mata keseluruh sanggul di 'sasak' lebar-lebar, dengan diameter tidak kurang dari ban sekuter Vespa atau Bajaj! Biasanya yang begini adalah tanda krisis identitas: tidak berani meninggalkan identitas diri sebagai muslimat, tetapi enggan disebut kampungan.
Tidak disangka tidak dinyana, penggunaan kerudung dapat juga menimbulkan pertentangan pendapat, antara mereka yang menentang dan yang mempertahankan. Tidak terduga sebelumnya kerudung dapat menjadi titik sengketa, fokus sebuah konflik sosial.
Padahal, tadinya masalah penggunaan kerudung dianggap masalah sepele saja. Yang masih kuat bertahan pada identitas 'kesantrian' terus memakainya, yang sudah tidak merasa perlu sudah meninggalkannya. Juga ada peragu yang menggunakannya di atas bahu sewaktu ada pesta atau upacara.
###
        Apakah gerangan yang membuat pemakaian kerudung menjadi masalah peka, padahal sekian lama ia 'dibiarkan' pada keputusan pribadi masing-masing di kalangan kaum muslimat?
Masalahnya berkisar pada munculnya kerudung itu sendiri sebagai simbol. Selama ini , simbol tersebut, yaitu simbol ketaatan beragama bagi yang memakai dan simbol 'kekampungan' bagi yang tidak mengenakannya, hidup berdampingan secara damai. Masing-masing berkembang didunianya sendiri, bagaikan polisi dan pencuri, seirama dengan pelapisan masyarakat begitu ruwet dan kompleks. Tidak pernah ada pertentangan terbuka, tidak pernah didiskusikan perlu atau tidaknya menggunakan kerudung. Apalagi dilokakaryakan atau di seminarkan.
Masalahnya menjadi berbeda, ketika berkembang sebuah kesadaran baru di kalangan kaum remaja muslim. Mereka adalah generasi yang serius melihat segala sesuatu dalam hidup ini, dari jerawat di pipi hingga pandangan hidup yang diidealkan masing-masing. Begitulah, ketika seorang anutan yang dianggap memiliki wewenang penuh merumuskan 'kebenaran agama' memerintahkan remaja asuhannya untuk memelihara 'aurat' berdasarkan ketentuan Islam. Dengan serta merta anjuran itu diikuti, termasuk oleh siswi SMA lalu mengenakan kerudung dilingkungan sekolah. Sudah tentu ini 'pemandangan' tidak , jauh dari 'kebiasaan' berseragam sekolah tanpa tutup kepala sama sekali.
Dua hal 'dilanggar' oleh perbuatan itu. Pertama, 'konsensus' selama ini, yang juga tidak begitu didasari dahulu, bahwa kerudung bukanlah pakaian yang 'layak' untuk siswi-siswi sekolah nonagama. Kedua, kecenderungan kepada uniformitas sikap dan perilaku, yang dicoba untuk 'ditegakkan' oleh lingkungan pendidikan nasional kita. Dari pesuruh sekolah sampai Menteri P dan K, besar sekali nampaknya kecenderungan untuk menyeragamkan pandangan sikap dan perilaku 'keluarga besar pendidikan nasional'
Sudah tentu 'konsensus' dan kecenderungan di atas segera mengeluarkan reaksi balik atas prakarsa siswi SMA yang menggunakan kerudung pergi ke sekolah itu. Dapat di terka, senjata utama yang digunakan pihak pimpinan sekolah adalah 'pelanggaran disiplin'. Benar saja, atas dalih itu sang siswi itu dikeluarkan dari sekolahnya.

Pemecatan dapat dilakukan, selama ada kesamaan pandangan antara pihak 'penegak disiplin' dan pihak-pihak lain di luar. Berarti dalam kasus-kasus di mana ada kejelasan bahwa si 'pelanggar disiplin' memang bersalah atas persetujuan universal semua pihak.
Kesulitannya adalah kalau cukup banyak jumlah orang yang tidak sependapat, seperti dalam kasus kerudung di Bandung baru-baru ini. Lalu disebutkanlah hal-hal yang meragukan kebenaran tindakan disipliner yang dijatuhkan atas diri 'siswi berkerudung' itu. Pelanggaran hak pribadi sang siswi untuk mengenakan pakaian yang disenanginya, tuduhan pimpinan sekolah bersikap 'memusuhi Islam' dan lain-lain tuduhan lagi dilemparkan seenaknya.
^^^^

       Apa yang dilupakan kebanyakan orang adalah penglihatan global terhadap masalah kerudung itu. Ia tidak lain adalah pencerminan dari kuatnya tuntutan di kalangan remaja muslim, agar ajaran Islam dilaksanakan secara tuntas dan konsekuen. Ia adalah bagian dari ketekunan yang semakin bertambah untuk meramaikan masjid, merumuskan 'sikap Islam' terhadap berbagai masalah, dan keberangan terhadap apa yang digeneralisasi sebagai 'pandangan-pandangan sekularistis' di kalangan kaum muslimin sendiri. Kasus kerudung itu adalah bagian dari meningkatnya kesadaran beragama di kalangan kaum remaja muslim dewasa ini. Kesadaran itu muncul dari banyak sebab. Diantaranya adalah kekecewaan terhadap kebangkrutan teknologi dan ilmu pengetahuan modern, yang diredusir kedudukannya menjadi hamba kekuasaan modal saja, tanpa membawa perubahan mendasar atas tingkat kehidupan manusia. Juga kekecewaan melihat terbatasnya kemampuan umat manusia untuk mencari pemecahan hakiki atas peroalan-persoalan utama yang dihadapinya. Tidak kurang pentingnya adalah juga kekecewaan mereka terhadap kegagalan elite kaum muslimin di seluruh dunia, yang tidak mampu mengangkat derajat agama mereka di hadapan tantangan 'pihak luar' terhadap Islam.

Dapat di mengerti kalau kesadaran itu juga mempunyai imbas fisiknya atas perilaku para remaja muslim di mana-mana termasuk mereka lalu memelihara jenggot dan memakai kerudung. Perilaku seperti itu tidak sepatutnya diremehkan dan disepelekan, karena ia merupakan bagian dari kesadaran untuk menegakkan Islam sebagai 'jalan hidup'. Boleh kita tidak setuju dengan aspirasi holistik seperti itu, namun dihargai sebagai upaya untuk menemukan Islam dalam kebulatan dan keutuhan, jadi motifnya berwatak transendental.
Kalau tidak diperhitungkan 'tindakan disipliner' atas 'pelanggaran gadis berkerudung' di salah satu SMA di Bandung itu dari sudut kesadaran beragama ini, terlepas dari keputusan apa yang akan diambil, maka sebenarnya tindakan itu tidak memecahkan masalah. Ia hanya menunda atau memindahkan persoalannya saja. Kasus-kasus serupa akan tetap muncul, dengan intensitas dan implikasi yang mungkin semakin gawat bagi masa depan kita semua sebagai bangsa.

                 

Memasyarakatkan Islam

0 komentar

Sabtu, 16 Juli 1983
Salahkah Jika Dipribumikan?
                  
Oleh : KH. Abdurrahman Wahid

       Islam mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya. Bukan ajarannya, melainkan penampilan kesejarahan itu sendiri, meliputi kelembagaannya. Mula-mula seorang nabi membawa risalah (pesan agama, bertumpu pada tauhid) bernama Muhammad, memimpin masyarakat muslim pertama. Lalu empat pengganti (khalifah) meneruskan kepemimpinannya berturut-turut. Pergolakan hebat akhirnya berujung pada sistem pemerintahan monarki.
Begitu banyak perkembangan terjadi. Sekarang ada sekian republik dan sekian kerajaan mengajukan klaim sebagai ‘negara Islam’. Ironisnya dengan ideologi politik yang bukan saja saling berbeda melainkan saling bertentangan dan masing-masing menyatakan diri sebagai ‘ideologi Islam’. Kalau di bidang politik terjadi ‘pemekaran’ serba beragam, walau sangat sporadis, seperti itu, apalagi di bidang-bidang lain.
    Hukum agama masa awal Islam kemudian berkembang menjadi fiqh, yurisprudensi karya korps ulama pejabat pemerintah (qadi, multi, dan hakim) dan ulama ‘non-korpri’. Kekayaan sangat beragam itu lalu disistematisasikan ke dalam beberapa buah mazhab fiqh, masing-masing dengan metodologi dan pemikiran hukum (legal theory) tersendiri.
Terkemudian lagi muncul pula deretan pembaharuan yang radikal, setengah radikal, dan sama sekali tidak radikal. Pembaharuan demi pembaharuan dilancarkan, semuanya mengajukan klaim memperbaiki fiqh dan menegakkan ‘hukum agama yang sebenarnya’, dinamakan Syari’ah. Padahal kaum pengikut fiqh dari berbagai mazhab itu juga menamai anutan mereka sebagai syari’ah.
Kalau di bidang politik - termasuk doktrin kenegaraan - dan hukum saja sudah begitu balau keadaannya, apalagi dibidang-bidang lain, pendidikan, budaya kemasyarakatan, dan seterusnya. Tampak sepintas lalu bahwa kaum muslimin terlibat dalam sengketa di semua aspek kehidupan, tanpa terputus-putus. Dan ini lalu dijadikan kambing hitam atas melemahnya posisi dan kekuatan masyarakat Islam .
Dengan sendirinya lalu muncul kedambaan akan pemulihan posisi dan kekuatan melalui pencarian paham yang menyatu dalam Islam, mengenai seluruh aspek kehidupan. Dibantu oleh komunikasi semakin lancar antara bangsa-bangsa muslim semenjak abad yang lalu, dan kekuatan petrodollar negara-negara Arab kaya minyak, kebutuhan akan ‘penyatuan’ pandangan itu akhirnya menampilkan diri dalam kecenderungan sangat kuat untuk menyeragamkan pandangan. Tampillah dengan demikian sosok tubuh baru: formalisme Islam. Masjid beratap genteng, yang sarat dengan simbolisasi lokalnya sendiri negeri kita, dituntut untuk ‘dikubahkan’. Budaya wali songo yang serba ‘Jawa’, Saudati Aceh, Tabut Pariaman, didesak ke pinggiran oleh kasidah berbahasa Arab dan juga MTQ yang berbahasa Arab: bahkan ikat kepala lokal (udeng atau iket di Jawa ) harus mengalah kepada sorban ‘merah putih’ model Yasser Arafat.
Begitu juga hukum agama, harus diseragamkan dan diformalkan: harus ada sumber pengambilan formalnya, Alqur’an dan Hadist, padahal dahulu cukup dengan apa kata kiai. Pandangan kenegaraan dan Ideologi politik tidak kalah dituntut harus ‘universal’ ; yang benar hanyalah paham Sayyid Qutb, Abul A’l Al Maududi atau Khomeini. Pendapat lain, yang sarat dengan latar belakang lokal masing-masing, mutlak dinyatakan salah.
Lalu, dalam keadaan demikian, tidakkah kehidupan kaum muslimin tercabut dari akar-akar budaya lokalnya? Tidakkah ia terlepas dari kerangka kesejarahan masing-masing tempat? Di Mesir, Suriah, Irak, dan Aljazair, Islam ‘dibuat’ menentang nasionalisme Arab - yang juga masing-masing bersimpang siur warna ideologinya.
Di India ia menolak wewenang mayoritas penduduk yang beragama Hindu, Untuk menentukan bentuk kenegaraan yang diambil. Di Arab Saudi bahkan menumpas keinginan membaca buku-buku filsafat dan melarang penyimakan literatur tentang sosialisme. Di negeri kita sayup-sayup suara terdengar untuk menghadapkan Islam dengan Pancasila secara konfrontatif - yang sama bodohnya dengan upaya sementara pihak untuk menghadapkan Pancasila dengan Islam.
    Anehkah kalau terbetik di hati adanya keinginan sederhana : bagaimana melestarikan akar budaya-budaya lokal yang telah memiliki Islam di negeri ini? Ketika orang-orang Kristen meninggalkan pola Gereja kota kecil katedral ‘serba Gothik’ di kota-kota besar dan gereja kota kecil model Eropa, dan mencoba menggali Aritektur asli kita sebagai pola baru bangunan gereja, layakkah kaum muslimin lalu ‘berkubah’ model Timur Tengah dan India? Ketika Ekspresi kerohanian umat Hindu menemukan vitalitasnya pada gending tradisional Bali, dapatkah kaum muslimin ‘berkasidahan Arab’ dan melupakan ‘pujian’ berbahasa lokal tiap akan melakukan sembahyang?
Juga mengapa harus menggunakan kata ‘shalat’, kalau kata ‘sembahyang’ juga tidak kalah benarnya? Mengapakah harus ‘dimushalakan’, padahal dahulu toh cukup langgar atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa ‘sreg’ kalau dijadikan ‘milad’. Dahulu tuan guru atau kiai sekarang harus ustadz dan syekh, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang yang semula mendukung kehadirannya di belahan bumi ini?
    Kesemua kenyataan di atas membawakan tuntutan untuk membalik arus perjalanan Islam di negeri kita, dari formalisme berbentuk ‘Arabisasi total’ menjadi kesadaran akan perlunya dipupuk kembali akar-akar budaya lokal dan kerangka kesejarahan kita sendiri, dalam mengembangkan kehidupan beragama Islam di negeri ini. Penulis menggunakan istilah ‘pribumisasi Islam’, karena kesulitan mencari kata lain. ‘Domestikasi Islam terasa berbau politik, yaitu penjinakan sikap dan pengebirian pendirian.
Yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi kehidupan Islam belaka. Bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan ‘Qur’an Batak’ dan Hadis Jawa’. Islam tetap Islam, dimana saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan ‘bentuk-luar’nya. Salahkah kalau Islam ‘dipribumikan’ sebagai manifestasi kehidupan?

Sumber: TEMPO

Kejujuran Menerima Sejarah

0 komentar


                  
Oleh KH Abdurrahman Wahid

     Pada minggu pertama Januari 2003, penulis menyampaikan pidato pada acara yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Australia Universitas Indonesia (UI). Pidato itu keesokan harinya dikutip oleh sejumlah harian Ibu Kota, di samping beberapa media elektronik. Menurut keterangan, pidato itu diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin dan dimuat dalam sebuah media di Beijing. Mengapa? Penulis menyampaikan sesuatu yang selama ini tertutup, dan luput dari perhatian, tentang hubungan antara Indonesia dan Tiongkok. Mungkin juga apa yang dikemukakan penulis itu, dianggap sebagai sesuatu yang ”baru” dalam pandangan orang tentang hubungan antara kedua negeri yang sama-sama berpenduduk banyak tersebut. Paling tidak, ia tidak pernah ditulis dalam buku-buku sejarah yang digunakan di kawasan mana pun selama ini.
*
    Dalam memaparkan pentingnya arti kajian Pasifik, penulis meminta kejujuran semua pihak, sehingga hal-hal faktual belaka yang digunakan dalam kajian, yang dianggap memiliki ”kebenaran” sejarah yang kita gunakan, janganlah jadi keinginan untuk mencari kegemilangan bagi diri sendiri, golongan kita atau negeri di mana kita hidup. Harus ada kejujuran, bila kita ingin memperoleh kebenaran sejarah, sesuai dengan apa yang terjadi. Dalam hal ini, penulis sangat tertarik pada sebuah audio book yang dikeluarkan oleh BBC (British Broadcasting Corporation) tentang sejarah masa lampau Inggris. Audio book itu banyak mengungkapkan hal, baik pengkhianatan para raja, para tokoh dan para bangsawan, tanpa ditutup-tutupi. Semuanya dibuka, demi kepentingan sejarah, dan hasilnya adalah kekaguman, keuletan dan kepiawaian bangsa Inggris dalam mengemudikan sebuah negara. Kesimpulan orang, pantaslah kalau bangsa Inggris menjadi bangsa besar yang pernah ”menaklukkan” dunia.
Jadi, berlawanan dengan sangkaan sebagian orang akan ”kehebatan dan kesucian” sebuah bangsa. Sebenarnya biasa saja jika bangsa itu mengalami pasang surut dan naik-turun dalam sejarah kehidupannya. Ini adalah hal yang wajar, seperti wajarnya keyakinan bahwa Tuhan menurunkan sejumlah ajaran yang benar melalui sesuatu agama, kemudian ajaran-ajaran itu sendiri dilupakan dan tidak dijalankan oleh para pemeluknya. Termasuk Islam, jika memang benar-benar memiliki ajaran yang diwujudkan oleh kaum muslimin dalam sejarah mereka yang panjang, maka Islam tidak akan mengalami nasib seperti sekarang. Justru di sinilah terletak keharusan bagi mereka untuk selalu membuat penafsiran kembali (re-interpretasi) untuk ”menyelamatkan” Islam selama ini.
Kejujuran yang diminta dalam pidato penulis itu, adalah sikap menerima sejarah sebagaimana adanya. Dalam hal ini umpamanya, dapat dilihat sebagai bandingan apa yang dikemukakan Moh. Yamin dalam sejumlah tulisan-tulisannya tentang masa lampau Majapahit. Menurut Yamin, bendera Majapahit berkibar di perairan-perairan—mulai Madagaskar di timur Benua Afrika hingga Pulau Tahiti di Pasifik. Ia menyimpulkan, kekuasaan Majapahit ini membuktikan ”kebesaran” Indonesia di masa lampau. Benarkah klaim seperti itu, sesuai dengan kenyataan-kenyataan sejarah? Dalam pidato itu, penulis mengemukakan pandangan kritis tentang ”kebenaran sejarah” yang dipercayai oleh kacamata searah. Hal ini penulis kemukakan, agar supaya kajian Pasifik yang direncanakan pusat studi tersebut dapat berjalan objektif, dan menjadi bahan analisis kita, dan untuk itu harus memiliki ”kebenaran ilmiah” yang teruji dengan baik.
**
       ”Kebenaran ilmiah” yang terkandung dalam buku-buku dan berbagai catatan sejarah yang otentik, menunjukkan bahwa angkatan laut Majapahit adalah bagian dari sebuah angkatan laut yang lebih besar milik Kerajaan Tiongkok. Dari abad ke 13 hingga 16 Masehi, selama kurun waktu lebih dari 300 tahun, angkatan laut Tiongkok merajai perairan antara Pulau Madagaskar di Lautan Hindia, Samudera Indonesia hingga Samudera Pasifik di Pulau Tahiti. Nah, jelasnya, angkatan laut Majapahit adalah bagian dari angkatan laut Tiongkok itu. Kemungkinan besar, hubungan antara kedua angkatan laut itu terbentuk hubungan patron-client, secara halus dinamakan dominion. Seperti halnya hubungan Kanada dan Australia di satu pihak dengan Inggris di pihak lain. Kedua-duanya memiliki angkatan perang sendiri, juga bendera masing-masing, dan pengaturan diri sendiri terlepas dari apa yang dilakukan oleh kerajaan Inggris. Namun, ketiga negara memiliki ratu yang sama, dan lembaga hukum tertinggi yang sama pula, yaitu Privy Council.
Kira-kira antara kekaisaran Tiongkok dan kerajaan Majapahit selama tiga abad lebih tersebut, terdapat hubungan seperti itu. Masing-masing memiliki angkatan perang sendiri, namun menggunakan bentuk formal yang sama. Dalam hal ini, mungkin saja angkatan laut Majapahit menggunakan istilah-istilah yang berbeda dari apa yang digunakan dalam angkatan laut Tiongkok, namun tidak ada bukti sejarah yang menunjukkan bahwa angkatan laut Majapahit pernah secara independen menguasai perairan dari Madagascar di Barat hingga ke Tahiti di timur. Karena ketiadaan bukti sejarah itu, tentu kita tidak dapat mendukung claim bahwa Majapahit menguasai kedua perairan seluas itu serta gugusan pulau-pulau di antara kedauanya. Tapi, di luar hal itu kita tidak dapat membuktikannya.
Dalam buku ”1492” (quatorze neuf deux) dikemukakan lima buah kejadian besar yang mengubah total sejarah umat manusia. Diantaranya, adalah pengangkatan seorang menteri peperangan menjadi wali negara (regent) di Tiongkok, karena kaisar lama meninggal dunia dan kaisar baru masih belum cukup berumur untuk menggantikannya dalam pemerintahan. Karena itulah diperlukan seorang wali negara, yang kebetulan jatuh di tangan orang yang beragama Konghuchu. Karena takut orang-orang Tionghoa perantauan (hoa kiau) di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, akan kembali ke daratan Tiongkok dengan membawa agama mereka, dan dengan demikian menyebarkan agama Islam di Tiongkok melalui pembelian tanah, wali negara lalu memanggil seluruh kapal (jung) milik angkatan laut Tiongkok ke pantai-pantai negeri itu dan membakar kaum perantauan sekaligus. Secara efektif, ia memutuskan hubungan antara kaum perantau di negeri-negeri seberang itu dengan tanah kelahiran mereka.
Maka, terputuslah komunikasi antara orang-orang Tiongkok perantauan dan yang tinggal di negeri asal.
Dengan demikian, budaya komunitas masyarakat perantauan itu lalu diserap oleh masyarakat setempat, dan menjadi orang-orang ”asli” atau pribumi. Merekalah sebenarnya yang menjadi salah satu bagian dari penyebaran Islam di Nusantara. Karena itulah, di beberapa bagian dari negeri kita, dahulu kaum muslimin ber-madzhab Hanafi, termasuk di Majapahit. Namun dalam jangka panjang, lambat laun mereka ”di-Syafi’i-kan” oleh kaum muslimin lain melalui Samudera Pasai dan Peureulak di Aceh dalam abad XVII dan seterusnya. Kenyataan seperti inilah yang harus diselidiki oleh lembaga ilmiah kita melalui penelitian demi penelitian yang akan dilakukan. Jika fakta ini diabaikan, kita akan memperoleh pandangan yang keliru tentang masa lampau, dan ini akan mengurangi ”kebesaran” kita sendiri.
Pusat kajian tersebut oleh penulis juga diminta untuk melakukan kodifikasi dan dokumentasi berbagai manifestasi budaya manusia-manusia di kawasan Pasifik. Ini dilakukan, untuk menyusun atau merekomendasikan sebuah kajian geopolitik yang benar tentang konfigurasi bangsa-bangsa Pasifik, demi kebutuhan kita sendiri. Ini berarti, keharusan bagi kita untuk mengajak Australia melakukan hal itu, guna menyusun bersama sebuah kajian geopolitik yang baru.
***
         Terlepas dari kajian-kajian tersebut memperlihatkan dominasi ”negara-negara besar yang lama” seperti Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang. Ini semua, tentu dapat dilakukan jika Australia menghendakinya. Kerjasama seperti itu kalau ingin diwujudkan, tentu memerlukan kejujuran ilmiah kita sendiri. Mudah diucapkan, namun sulit dilakukan, bukan?

Penulis adalah budayawan dan pengagas pembentukan Forum Pasifik Barat.
                 
sumber : http://www.sinarharapan.co.id/