Gus Dur

Tidak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya agamamu.

Punokawan

Ojo Dumeh.

Sunan Kalijogo

jika sudah tiba zamannya dimana sungai-sungai hilang kedalamannya (banyak orang yang berilmu yang tidak amalkan ilmunya), pasar hilang gaungnya , wanita-wanita hilang malunya maka cepat-cepatlah kalian keluar 4 bulan dari desa ke desa dari pintu ke pintu JANGANLAH PULANG sebelum mendapat HIDAYAH dari Allah swt.

Gus Mus

Kalau anda dipuji sedangkan anda merasa tidak sepantasnya dipuji, kenapa anda senang? kalau anda dicela, sedangkan anda merasa tidak sepantasnya dicela, kenapa anda marah?.

Hadratus Sayaikh KH. Hasyim Asyari

Sesungguhnya perpecahan, pertikaian, saling menghina dan fanatik madzhab adalah musibah yang nyata dan kerugian besar.

Download Kumpulan Puisi Gus Mus II

0 komentar

Negeriku

mana ada negeri sesubur negeriku?
sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu, dan jagung
tapi juga pabrik, tempat rekreasi, dan gedung
perabot-perabot orang kaya didunia
dan burung-burung indah piaraan mereka
berasal dari hutanku
ikan-ikan pilihan yang mereka santap
bermula dari lautku
emas dan perak perhiasan mereka
digali dari tambangku
air bersih yang mereka minum
bersumber dari keringatku
mana ada negeri sekaya negeriku?
majikan-majikan bangsaku
memiliki buruh-buruh mancanegara
brankas-brankas ternama di mana-mana
menyimpan harta-hartaku
negeriku menumbuhkan konglomerat
dan mengikis habis kaum melarat
rata-rata pemimpin negeriku
dan handai taulannya
terkaya di dunia
mana ada negeri semakmur negeriku
penganggur-penganggur diberi perumahan
gaji dan pensiun setiap bulan
rakyat-rakyat kecil menyumbang
negara tanpa imbalan
rampok-rampok dibri rekomendasi
dengan kop sakti instansi
maling-maling diberi konsesi
tikus dan kucing
dengan asyik berkolusi

 Download Here Puisi Gus Mus - Negeriku



DI NEGERI AMPLOP
Amplop-amplop di negeri amplop
Mengatur dengan teratur
Hal-hal yang tak teratur menjadi teratur
Hal-hal yang teratur menjadi tak teratur
Memutuskan putusan yang tak putus
Membatalkan putusan yang sudah putus
Amplop-amplop menguasai penguasa
Dan mengendalikan orang-orang biasa
Amplop-amplop membeberkan dan menyembunyikan
Mencairkan dan membekukan
Mengganjal dan melicinkan
Orang bicara bisa bisu
Orang mendengar bisa tuli
Orang alim bisa nafsu
Orang sakti bisa mati

Di negeri amplop
Amplop-amplop mengamplopi
apa saja dan siapa saja

  Download Here Puisi Gus Mus - Di Negeri Amplop



NEGERI HAHA HIHI

Bukan karena banyaknya grup lawak maka negeriku selalu kocak.
Justru grup-grup lawak hanya mengganggu dan banyak yang bikin muak.
Negeriku lucu dan para pemimpinnya suka mengocok perut:
Banyak yang terus pamer kebodohan dengan keangkuhan yang menggelikan.
Banyak yang terus pamer keberanian dengan kebodohan yang mengharukan.
Banyak yang terus pamer kekerdilan dengan teriakan yang memilukan.
Banyak yang terus pamer kepengecutan dengan lagak yang memuakkan. Ha ha…
Pejuang keadilan jalannya miring
Penuntut keadilan kepalanya pusing
Hakim main mata dengan maling
Wakil rakyat baunya pesing. Hi hi …
Kalian jual janji-janji
untuk menebus kepentingan sendiri
Kalian hafal pepatah-petitih
untuk mengelabui mereka yang tertindih.
Pepatah-petitih, ha ha…
Anjing menggonggong kalian terus berlalu
Sambil menggonggong kalian terus berlalu
Ha ha, hi hi……
Ada udang di balik batu
Otaknya udang kepalanya batu
Ha ha, hi hi……
Sekali dayung dua pulau terlampaui
Sekalu untung dua pulau terbeli
Ha ha, hi hi……
Gajah mati meninggalkan gading
Harimau mati meninggalkan belang
Kalian mati meninggalkan hutang
Ha ha, hi hi……
Hujan emas di negeri orang hujan batu di negeri sendiri
Lebih b aik yuk hujan-hujanan caci-maki
Ha ha, hi hi
AKU MASIH SANGAT HAFAL NYANYIAN ITU

Aku masih sangat hafal nyanyian itu
Nyanyian kesayangan dan hafalan kita
bersama
Sejak kita di sekolah rakyat
Kita berebut lebih dulu
menyanyikannya
Ketika anak-anak disuruh
Menyanyi di depan klas
satu-persatu
Aku masih ingat betapa kita gembira
Saat guru kita mengajak
menyanyikan lagu itu
bersama-sama
Sudah lama sekali
Pergaulan sudah tidak
seakrab dulu
Masing-masing sudah terseret kepentingannya sendiri
Atau
tersihir pesona dunia
Dan kau kini entah di mana
Tapi aku masih sangat
hafal nyanyian itu, sayang
Hari ini ingin sekali aku menyanyikannya
kembali
Bersamamu
Indonesia
tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Selalu
dipuja-puja bangsa
Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan
bunda
Tempat berlindung di hari tua
Sampai akhir menutup
mata

Aku merindukan rasa haru dan iba
Di tengah kobaran kebencian
dan dendam
Serta maraknya rasa tega
Hingga kini ada saja yang mengubah
lirik lagu
Kesayangan kita itu
Dan menyanyikannya dengan nada
sendu
Indonesia tanah air
kita
Bahagia menjadi nestapa
Indonesia kini tiba-tiba
Selalu
dihina-hina bangsa
Di sana banyak orang lupa
Dibuai kepentingan
dunia
Tempat bertarung merebut kuasa
Sampai entah kapan
akhirnya

Sayang, di manakah kini kau
Mungkinkah kita bisa menyanyi
bersama lagi
Lagu kesayangan kita itu
Dengan akrab seperti
dulu

 Download Here Puisi Gus Mus - aku Masih Sangat Hafal Nyanyian Itu

 

Dalam Kereta
Bukanya aneh bukannya dalam kereta aku kembali teringat
Apakah karena gemuruh yang melintas disini

Aku kembali teringat perjalanan kita yang singkat bukan karena jarak yang dekat

Tapi jarak terlipat oleh keasikan kita yang nikmat

Tidak seperti biasa, kita begitu menjadi kanak-kanak
Bahkan kadang-kadang norak 

Tak terganggu stasiun berteriak-teriak dan suara kereta yang bergerak-gerak
Bukannya aneh kita menikmati kesendirian dalam keramaian

Stasiun demi stasiun terlewati tanpa kita sadari
Sampai kita kembali menjadi diri kita lagi

Kau dimana sekarang sayang
Lalu apa yang ada disini (dada) yang terus bergemuruh ini

Download Here Puisi Gus Mus - Dalam Kereta 

…………………………….HANIEN…………………………….
Mestinya malam ini bias sangat istimewa seperti dalam mimpi-mimpiku selama ini
Kekasih jemputlah aku
Kekasih sambutlah aku

Aku akan mengatakan kata-kata kerinduanku dengan kata-kata biasa
Dan kau cukup tersenyum memahami deritaku
Lalu ku letakkan kepalaku yang penat di haribaanmu yang hangat
Kekasih tetaplah di sisiku
Kekasih tataplah mataku
Tapi seperti biasa dari sekian banyak yang ingin kukatakan tak terkatakan
Sekian banyak dari yang mau kuadukan terambil alih oleh air mataku
Kekasih dengarlah dadaku
Kekasih bacalah air mataku
Malam ini belum juga seperti mimpi-mimpiku selama ini
Malam ini lagi-lagi kau biarkan sepi mewakilimu.

Download Here Puisi Gus Mus - Hanien 




Sajak Atas Nama

Ada yang atasnama Tuhan melecehkan Tuhan
Ada yang atasnama negara merampok negara
Ada yang atasnama rakyat menindas rakyat
Ada yang atasnama kemanusiaan memangsa manusia
Ada yang atasnama keadilan meruntuhkan keadilan
Ada yang atasnama persatuan merusak persatuan
Ada yang atasnama perdamaian mengusik kedamaian
Ada yang atasnama kemerdekaan memasung kemerdekaan
Maka atasnama apa saja atau siapa saja
Kirimlah laknat kalian
Atau atasnamaKu perangilah mereka!
Dengan kasih sayang!


Download Here Puisi Gus Mus - Sajak Atas Nama 

 

Pesantren, Pendidikan Elitis atau Populis?

0 komentar

                                                  Selasa, 30 Maret 1976
                        
                  
Oleh KH Abdurrahman Wahid


      Seleksi dalam Pesantren

       Arah pendidikan ditentukan oleh mereka yang berkelibat dalam kegiatan pendidikan. Untuk siapakah seluruh sistem pendidikan pesantren? Bilamana hal ini dipertanyakan untuk siapakah seluruh sistem pendidikan pesantren, jawaban bisa diberikan dalam bentuk konstatasi tentang pesantren dalam kalangan pesantren sendiri sebagi berikut: "bilamana dari puluhan ribu santri yang tinggal di pesantren setengah persen saja di antaranya dapat menjadi ahli agama, itu sudah merupakan hasil yang maksimal". Hal tersebut mencerminkan proses seleksi yang ketat sekali dalam pesantren masa sekarang. Inilah titik balik dari perkembangan pesantren yang menjalani masa hidupnya ratusan tahun hingga sekarang. Penyaringan yang ketat adalah penanaman benih elitisme dalam pesantren. Hal semacam ini sebenarnya berbeda dengan pesantren sebagaimana dapat ditelusuri kekhasannya pada titik mulanya yang paling awal. Di masa-masa yang lalu pesantren itu adalah satu-satunya lembaga pendidikan. Dalam saat di mana semua mereka yang memiliki darah biru kebangsawanan dan mereka yang karena hubungannya dengan keraton dididik dalam lembaga pendidikan kekeratonan, pesantren menampung semua lapisan masyarakat yang tidak ditampung dalam lembaga pendidikan keraton. Karena itu dulunya pesantren sebagai lembaga pendidikan adalah sebuah lembaga pendidikan umum; di dalamnya tidak hanya diajarkan agama.
Dalam perkembangannya akhir-akhir ini tampak kecenderungan untuk menciptakan pesantren sebagai lembaga pencetakan para ulama. Penyempitan kriterium dengan sendirinya bergerak menuju penciutan lapangan bagi orang yang akan dikirim ke pesantren yaitu orang-orang yang merasa dirinya santri dan memiliki komitmen kepada Islam sebagai ideologi. Dengan mempertahankan kriterium semacam ini maka bisa dilihat bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan di mana tingkat drop-out cukup besar.
ltulah perkembangannya pada tahun menjelang kemerdekaan sampai kira-kira tahun tujuhpuluhan ini. Pada tahun-tahun terakhir timbul elemen baru di mana pesantren merupakan penampung ribuan bahkan puluhan ribu mereka yang karena alasan tertentu tidak dapat ditampung di sekolah-sekolah luar baik karena fasilitas, biaya dan lain sebagainya, maupun karena tak dapat memenuhi standarnisasi entah itu akhiak atau persyaratan lain yang terdapat di sekolah umum. Bahkan pada tahun-tahun terakhir pesantren itu juga dapat tambahan fungsi untuk menampung anak-anak nakal yang tidak dapat diatasi oleh sekolah-sekolah lain atau oleh orang tuanya. Malah pesantren juga menjadi penampung anak-anak yang menjadi korban erosi kultur dalam kota-kota besar.
Jadi dengan demikian, tidak dapat ditentukan dengan persis dari mana asal usul kalangan yang mengirim anak-anaknya ke pesantren. la selalu berubah menurut perubahan fungsi dari pesantren itu sendiri. Sepintas kelihatan semua pesantren sama. Di sana ada kiai, santri, dan tempat penampung. Akan tetapi selebihnya berbeda, seperti sidik jari yang senantiasa berlainan menurut telapak setiap tangan.
    Bisa saja dikatakan bahwa ada orientasi elitis dalam pesantren. ltupun tergantung lagi pada pemahaman kita tentang elitisme. Bilamana dengan orientasi elitis dimaksudkan tingkat sosial-ekonomis dari orang tua anak yang dikirim ke pesantren, juga dalam hal ini tidak dapat dilihat kesamaan dari pesantren yang satu ke pesantren yang lainnya. Bisa disebut beberapa contoh seperti pesantren tarekat dan Pesantren Tebuireng yang kebanyakan menampung mereka dari kalangan bawah. Sedangkan pesantren seperti Gontor jelas kelihatan bahwa yang ditampung di sana adalah mereka dari kalangan pedagang dan intelektual. Anak-anak dari mereka yang dianggap kaum pemikir dalam masyarakat, guru dan lain sebagainya. Dari segi ini bisa dilihat orientasi elitis di sana.
Pada pihak lain konsep elitisme dalam pesantren juga tak bisa diterima secara serta-merta. Melihat tempatnya yang di desa dia menampung mereka yang karena alasan sosial ekonomis tidak tertampung di tempat lain. Ini berarti juga dia menampung mereka yang tidak memiliki privilese-privilese sosial. Hasilnyapun bisa dilihat. Pesantren senantiasa menghasilkan pemimpin masyarakat yang pandangan hidupnya populis, baik itu dari kalangan ABRI maupun dari Parpol/Ormas yang tidak terikat pada stratifikasi sosial yang beraneka ragam itu.

Mengubah Wajah Pesantren: Matangkan Kerangkanya
    Bahwa pesantren lebih memberikan kesan sebagai lembaga pendidikan keagamaan mungkin itu adalah kesan yang sulit dielakkan. Akan tetapi pengertiannya harus dijelaskan terlebih dahulu. Karena ada memang pesantren di mana dikhususkan  pendidikannya untuk mencapai spesialisasidalam bidang keagamaan.Misalnya di Tebuireng di mana diadakan spesialisasi tentang Hadis, ilmu Tafsir, atau di Krapyak di mana dibuat spesialisasi tentang ilmu-ilmu bahasa Arab. Akan tetapi ada juga yang hanya memberikan pelajaran agama sebagai dasar. Dan tidak sampai menuju kepada spesialisasi.
Dari segi pandangan lain bisa dikatakan sebagai berikut. Pendidikan keusahawanan misalnya bukanlah suatu yang asing dalam pesantren. Terutama tentang konskuensi dari pendidikan semacam itu yaitu etos kerja keras. Hal semacam itu selalu menjadi tekanan pokok dalam pendidikan di pesantren. Akan tetapi pendidikan kepengusahaan tersebut tidak terkoordinir dan tidak direncanakan dan untuk itu dibuat kerangkanya. Akibatnya akan keluar usahawan-usahawan yang mencari-cari jalan sendiri. Mereka akan menjadi usahawan-usahawan yang otodidak, yang tidak mendekati masalahnya dari segi-segi ilmiah tetapi berdasarkan intuisi.

    Akhir-akhir ini ada upaya memasukkan ke dalam pesantren pendidikan keterampilan. Usaha semacam itu adalah usaha yang terpuji dan bukanlah suatu yang buruk dalam dirinya. Akan tetapi kegunaannya menurun bilamana sistem pendidikan keterampilan semacam itu hanyalah keterampilan demi keterampilan dan meniru sekolah-sekolah seperti ASMI misalnya. Sekolah-sekolah semacam itu adalah konsumsi kota besar, dia tidak berfungsi bagi sekolah yang tempatnya di desa dan berorientasi menuju desa, karena memang bukan semua tamatannya akan menuju ke kota. Stenografi, demikian pula pelajaran mengetik tidaklah terlalu penting bagi masyarakat di desa. Yang jauh lebih penting ialah pendidikan pengusahaan yang menitik beratkan misalnya bagaimana melihat desa sebagai suatu potensi pasaran, serta bagaimana mengolahnya.
Dan kita pun melihat lagi perubahan sebagaimana yang dilakukan di pesantren Darul Falah di Bogor. Di sana pelajaran agama sangat minim. Di sana dilatih keterampilan pertanian, petemakan dan lain-lain. Sebenarnya hampir-hampir bisa dikatakan bahwa bukanlah pelajaran agama yang diberikan di sana, tetapi ilmu untuk menyadari pentingnya arti agama.
Yang terpenting ialah pada mereka ditanam kesadaran dan keinginan mengubah kehidupan masyarakat melalui penciptaan etos kerja berdasarkan suatu pandangan agama di bidang pertanian misalnya. Dan itu tidaklah menjadi soal. la bukanlah suatu yang buruk. Asal saja memang ada kerangkanya. Di sinilah letak kelemahan program keterampilan yang diadakan departemen agama. Tidak diciptakan kerangkanya. Sepanjang yang saya dengar hanya untuk menumbuhkan sifat keterampilan di kalangan
santri, agar santri bisa mencari makannya sendiri. Akan tetapi yang lebih dibutuhkan ialah kerangka yang mampu menumbuhkan sikap jiwanya. Sebab kalau hanya keterampilan yang diajarkan, tanpa dibilang mengapa dan apa gunanya, hasilnya seperti yang disaksikan sekarang. Banyak pesantren yang menolak pendidikan keterampilan dari departemen agama. Ini suatu kenyataan yang harus diakui. Program semacam ini hanyalah diterima oleh pesantren yang kecil saja sedangkan pesantren besar dan berpengaruh menolaknya. Kalaupun mereka menerima, hanyalah sebagai hiasan bibir belaka. Dan tidak ada yang menerima secara terbuka dan menjadikannya suatu program, karena memang tidak ada kerangkanya. Dan karena itu orang tidak merasakan komitmen kepada suatu tujuan.

Hidupkan Sikap Sosial Penunjang
    Perkembangan masyarakat banyak menuntut perubahan yang harus dilakukan oleh pesantren. Tentu saja hal semacam ini tidaklah mudah mengingat tradisi lembaga pesantren yang sudah berabad-abad lamanya. Banyak hambatan yang harus dilewatinya sebelum suatu jenis perubahan tertentu ditawarkan. Hambatan pertama adalah sebenarnya soal pimpinan. Kepeminpinan pesantren adalah suatu lembaga yang turun-temurun atau modelnya hierarkis. Karena itu sulit untuk diadakan perpindahan yang wajar secara teratur baik dan pembinaan calon penggantinya. Ini yang harus dipecahkan. Dan cara pemecahannya adalah komunikasi yang lebih efekrif antara calon pemimpin pesantren. Bilamana mereka yang tua telah mapan dan sulit berubah, maka hal semacam itu haruslah lebih dituntut dari mereka yang lebih muda. Dari mereka yang lebih muda diminta suatu pemikiran dalam konteks makro, yaitu memikirkan pesantren secara keseluruhan dan bukannya pesantrennya sendiri saja.
Masalah kedua ialah masalah pembiayaan pesantren. Dulu pesantren didukung oleh masyarakat dalam pembiayaan dan sebagainya. Akan tetapi hal semacam itu pada masa dahulu merupakan suatu kebiasaan sosial dan karena itu tidak dilembagakan. Akan tetapi setelah kita sanggup lagi mengembangkan etik sosial yang membiasakan masyarakat membiayainya sekarang, akhirnya pesantren kekeringan biaya. Lantas mereka akan berbondong-bondong memalingkan mukanya kepada pemerintah untuk meminta bantuan. Sedangkan pemerintah sudah dibebani beban yang berat dalam pembiayaan pendidikan. Pada hemat saya inilah suatu kekeliruan. Kesalahannya bukan pada fakta memintakan bantuan kepada pemerintah. Akan tetapi kesalahan terbesar ialah pihak pesantren tidak mampu menciptakan sikap sosial tertentu yang memungkinkan atau mendorong masyarakat membiayai pesantren. Hanya kemauan yang kuat dari pihak pesantren dan masyarakat mampu menumbuhkan sikap sosial semacam itu.
                       !!!!!

Kerudung dan Kesadaran Beragama

0 komentar

     Jakarta, Sabtu 29 Januari 1983
                           

Oleh Abdurrahman Wahid

    Kerudung adalah 'pemandangan' biasa di kalangan kaum muslimin yang taat beragama. Tidak semua wanita muslim dikenal dengan sebutan muslimat, menggunakannya. Namun porsi pemakainya cukup besar guna melekatkan predikat 'biasa' di atas. Ke pasar, rumah sakit, masjid maupun pesta dan upacara, pendeknya ke semua keperluan di luar rumah , kerudung selalu di pakai, begitu juga dirumah, kalau sedang ada tamu.
Ada yang berwarna-warni, terkadang dihiasi renda dan sulaman indah: ada juga yang polos, hanya pinggirnya saja yang disentuh benang jahitan. Ada yang memang dipakai menutup rambut seluruhnya, namun tidak kurang pula yang hanya disangkutkan pada bahu, tidak sampai menghalangi pandangan mata keseluruh sanggul di 'sasak' lebar-lebar, dengan diameter tidak kurang dari ban sekuter Vespa atau Bajaj! Biasanya yang begini adalah tanda krisis identitas: tidak berani meninggalkan identitas diri sebagai muslimat, tetapi enggan disebut kampungan.
Tidak disangka tidak dinyana, penggunaan kerudung dapat juga menimbulkan pertentangan pendapat, antara mereka yang menentang dan yang mempertahankan. Tidak terduga sebelumnya kerudung dapat menjadi titik sengketa, fokus sebuah konflik sosial.
Padahal, tadinya masalah penggunaan kerudung dianggap masalah sepele saja. Yang masih kuat bertahan pada identitas 'kesantrian' terus memakainya, yang sudah tidak merasa perlu sudah meninggalkannya. Juga ada peragu yang menggunakannya di atas bahu sewaktu ada pesta atau upacara.
###
        Apakah gerangan yang membuat pemakaian kerudung menjadi masalah peka, padahal sekian lama ia 'dibiarkan' pada keputusan pribadi masing-masing di kalangan kaum muslimat?
Masalahnya berkisar pada munculnya kerudung itu sendiri sebagai simbol. Selama ini , simbol tersebut, yaitu simbol ketaatan beragama bagi yang memakai dan simbol 'kekampungan' bagi yang tidak mengenakannya, hidup berdampingan secara damai. Masing-masing berkembang didunianya sendiri, bagaikan polisi dan pencuri, seirama dengan pelapisan masyarakat begitu ruwet dan kompleks. Tidak pernah ada pertentangan terbuka, tidak pernah didiskusikan perlu atau tidaknya menggunakan kerudung. Apalagi dilokakaryakan atau di seminarkan.
Masalahnya menjadi berbeda, ketika berkembang sebuah kesadaran baru di kalangan kaum remaja muslim. Mereka adalah generasi yang serius melihat segala sesuatu dalam hidup ini, dari jerawat di pipi hingga pandangan hidup yang diidealkan masing-masing. Begitulah, ketika seorang anutan yang dianggap memiliki wewenang penuh merumuskan 'kebenaran agama' memerintahkan remaja asuhannya untuk memelihara 'aurat' berdasarkan ketentuan Islam. Dengan serta merta anjuran itu diikuti, termasuk oleh siswi SMA lalu mengenakan kerudung dilingkungan sekolah. Sudah tentu ini 'pemandangan' tidak , jauh dari 'kebiasaan' berseragam sekolah tanpa tutup kepala sama sekali.
Dua hal 'dilanggar' oleh perbuatan itu. Pertama, 'konsensus' selama ini, yang juga tidak begitu didasari dahulu, bahwa kerudung bukanlah pakaian yang 'layak' untuk siswi-siswi sekolah nonagama. Kedua, kecenderungan kepada uniformitas sikap dan perilaku, yang dicoba untuk 'ditegakkan' oleh lingkungan pendidikan nasional kita. Dari pesuruh sekolah sampai Menteri P dan K, besar sekali nampaknya kecenderungan untuk menyeragamkan pandangan sikap dan perilaku 'keluarga besar pendidikan nasional'
Sudah tentu 'konsensus' dan kecenderungan di atas segera mengeluarkan reaksi balik atas prakarsa siswi SMA yang menggunakan kerudung pergi ke sekolah itu. Dapat di terka, senjata utama yang digunakan pihak pimpinan sekolah adalah 'pelanggaran disiplin'. Benar saja, atas dalih itu sang siswi itu dikeluarkan dari sekolahnya.

Pemecatan dapat dilakukan, selama ada kesamaan pandangan antara pihak 'penegak disiplin' dan pihak-pihak lain di luar. Berarti dalam kasus-kasus di mana ada kejelasan bahwa si 'pelanggar disiplin' memang bersalah atas persetujuan universal semua pihak.
Kesulitannya adalah kalau cukup banyak jumlah orang yang tidak sependapat, seperti dalam kasus kerudung di Bandung baru-baru ini. Lalu disebutkanlah hal-hal yang meragukan kebenaran tindakan disipliner yang dijatuhkan atas diri 'siswi berkerudung' itu. Pelanggaran hak pribadi sang siswi untuk mengenakan pakaian yang disenanginya, tuduhan pimpinan sekolah bersikap 'memusuhi Islam' dan lain-lain tuduhan lagi dilemparkan seenaknya.
^^^^

       Apa yang dilupakan kebanyakan orang adalah penglihatan global terhadap masalah kerudung itu. Ia tidak lain adalah pencerminan dari kuatnya tuntutan di kalangan remaja muslim, agar ajaran Islam dilaksanakan secara tuntas dan konsekuen. Ia adalah bagian dari ketekunan yang semakin bertambah untuk meramaikan masjid, merumuskan 'sikap Islam' terhadap berbagai masalah, dan keberangan terhadap apa yang digeneralisasi sebagai 'pandangan-pandangan sekularistis' di kalangan kaum muslimin sendiri. Kasus kerudung itu adalah bagian dari meningkatnya kesadaran beragama di kalangan kaum remaja muslim dewasa ini. Kesadaran itu muncul dari banyak sebab. Diantaranya adalah kekecewaan terhadap kebangkrutan teknologi dan ilmu pengetahuan modern, yang diredusir kedudukannya menjadi hamba kekuasaan modal saja, tanpa membawa perubahan mendasar atas tingkat kehidupan manusia. Juga kekecewaan melihat terbatasnya kemampuan umat manusia untuk mencari pemecahan hakiki atas peroalan-persoalan utama yang dihadapinya. Tidak kurang pentingnya adalah juga kekecewaan mereka terhadap kegagalan elite kaum muslimin di seluruh dunia, yang tidak mampu mengangkat derajat agama mereka di hadapan tantangan 'pihak luar' terhadap Islam.

Dapat di mengerti kalau kesadaran itu juga mempunyai imbas fisiknya atas perilaku para remaja muslim di mana-mana termasuk mereka lalu memelihara jenggot dan memakai kerudung. Perilaku seperti itu tidak sepatutnya diremehkan dan disepelekan, karena ia merupakan bagian dari kesadaran untuk menegakkan Islam sebagai 'jalan hidup'. Boleh kita tidak setuju dengan aspirasi holistik seperti itu, namun dihargai sebagai upaya untuk menemukan Islam dalam kebulatan dan keutuhan, jadi motifnya berwatak transendental.
Kalau tidak diperhitungkan 'tindakan disipliner' atas 'pelanggaran gadis berkerudung' di salah satu SMA di Bandung itu dari sudut kesadaran beragama ini, terlepas dari keputusan apa yang akan diambil, maka sebenarnya tindakan itu tidak memecahkan masalah. Ia hanya menunda atau memindahkan persoalannya saja. Kasus-kasus serupa akan tetap muncul, dengan intensitas dan implikasi yang mungkin semakin gawat bagi masa depan kita semua sebagai bangsa.

                 

Memasyarakatkan Islam

0 komentar

Sabtu, 16 Juli 1983
Salahkah Jika Dipribumikan?
                  
Oleh : KH. Abdurrahman Wahid

       Islam mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya. Bukan ajarannya, melainkan penampilan kesejarahan itu sendiri, meliputi kelembagaannya. Mula-mula seorang nabi membawa risalah (pesan agama, bertumpu pada tauhid) bernama Muhammad, memimpin masyarakat muslim pertama. Lalu empat pengganti (khalifah) meneruskan kepemimpinannya berturut-turut. Pergolakan hebat akhirnya berujung pada sistem pemerintahan monarki.
Begitu banyak perkembangan terjadi. Sekarang ada sekian republik dan sekian kerajaan mengajukan klaim sebagai ‘negara Islam’. Ironisnya dengan ideologi politik yang bukan saja saling berbeda melainkan saling bertentangan dan masing-masing menyatakan diri sebagai ‘ideologi Islam’. Kalau di bidang politik terjadi ‘pemekaran’ serba beragam, walau sangat sporadis, seperti itu, apalagi di bidang-bidang lain.
    Hukum agama masa awal Islam kemudian berkembang menjadi fiqh, yurisprudensi karya korps ulama pejabat pemerintah (qadi, multi, dan hakim) dan ulama ‘non-korpri’. Kekayaan sangat beragam itu lalu disistematisasikan ke dalam beberapa buah mazhab fiqh, masing-masing dengan metodologi dan pemikiran hukum (legal theory) tersendiri.
Terkemudian lagi muncul pula deretan pembaharuan yang radikal, setengah radikal, dan sama sekali tidak radikal. Pembaharuan demi pembaharuan dilancarkan, semuanya mengajukan klaim memperbaiki fiqh dan menegakkan ‘hukum agama yang sebenarnya’, dinamakan Syari’ah. Padahal kaum pengikut fiqh dari berbagai mazhab itu juga menamai anutan mereka sebagai syari’ah.
Kalau di bidang politik - termasuk doktrin kenegaraan - dan hukum saja sudah begitu balau keadaannya, apalagi dibidang-bidang lain, pendidikan, budaya kemasyarakatan, dan seterusnya. Tampak sepintas lalu bahwa kaum muslimin terlibat dalam sengketa di semua aspek kehidupan, tanpa terputus-putus. Dan ini lalu dijadikan kambing hitam atas melemahnya posisi dan kekuatan masyarakat Islam .
Dengan sendirinya lalu muncul kedambaan akan pemulihan posisi dan kekuatan melalui pencarian paham yang menyatu dalam Islam, mengenai seluruh aspek kehidupan. Dibantu oleh komunikasi semakin lancar antara bangsa-bangsa muslim semenjak abad yang lalu, dan kekuatan petrodollar negara-negara Arab kaya minyak, kebutuhan akan ‘penyatuan’ pandangan itu akhirnya menampilkan diri dalam kecenderungan sangat kuat untuk menyeragamkan pandangan. Tampillah dengan demikian sosok tubuh baru: formalisme Islam. Masjid beratap genteng, yang sarat dengan simbolisasi lokalnya sendiri negeri kita, dituntut untuk ‘dikubahkan’. Budaya wali songo yang serba ‘Jawa’, Saudati Aceh, Tabut Pariaman, didesak ke pinggiran oleh kasidah berbahasa Arab dan juga MTQ yang berbahasa Arab: bahkan ikat kepala lokal (udeng atau iket di Jawa ) harus mengalah kepada sorban ‘merah putih’ model Yasser Arafat.
Begitu juga hukum agama, harus diseragamkan dan diformalkan: harus ada sumber pengambilan formalnya, Alqur’an dan Hadist, padahal dahulu cukup dengan apa kata kiai. Pandangan kenegaraan dan Ideologi politik tidak kalah dituntut harus ‘universal’ ; yang benar hanyalah paham Sayyid Qutb, Abul A’l Al Maududi atau Khomeini. Pendapat lain, yang sarat dengan latar belakang lokal masing-masing, mutlak dinyatakan salah.
Lalu, dalam keadaan demikian, tidakkah kehidupan kaum muslimin tercabut dari akar-akar budaya lokalnya? Tidakkah ia terlepas dari kerangka kesejarahan masing-masing tempat? Di Mesir, Suriah, Irak, dan Aljazair, Islam ‘dibuat’ menentang nasionalisme Arab - yang juga masing-masing bersimpang siur warna ideologinya.
Di India ia menolak wewenang mayoritas penduduk yang beragama Hindu, Untuk menentukan bentuk kenegaraan yang diambil. Di Arab Saudi bahkan menumpas keinginan membaca buku-buku filsafat dan melarang penyimakan literatur tentang sosialisme. Di negeri kita sayup-sayup suara terdengar untuk menghadapkan Islam dengan Pancasila secara konfrontatif - yang sama bodohnya dengan upaya sementara pihak untuk menghadapkan Pancasila dengan Islam.
    Anehkah kalau terbetik di hati adanya keinginan sederhana : bagaimana melestarikan akar budaya-budaya lokal yang telah memiliki Islam di negeri ini? Ketika orang-orang Kristen meninggalkan pola Gereja kota kecil katedral ‘serba Gothik’ di kota-kota besar dan gereja kota kecil model Eropa, dan mencoba menggali Aritektur asli kita sebagai pola baru bangunan gereja, layakkah kaum muslimin lalu ‘berkubah’ model Timur Tengah dan India? Ketika Ekspresi kerohanian umat Hindu menemukan vitalitasnya pada gending tradisional Bali, dapatkah kaum muslimin ‘berkasidahan Arab’ dan melupakan ‘pujian’ berbahasa lokal tiap akan melakukan sembahyang?
Juga mengapa harus menggunakan kata ‘shalat’, kalau kata ‘sembahyang’ juga tidak kalah benarnya? Mengapakah harus ‘dimushalakan’, padahal dahulu toh cukup langgar atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa ‘sreg’ kalau dijadikan ‘milad’. Dahulu tuan guru atau kiai sekarang harus ustadz dan syekh, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang yang semula mendukung kehadirannya di belahan bumi ini?
    Kesemua kenyataan di atas membawakan tuntutan untuk membalik arus perjalanan Islam di negeri kita, dari formalisme berbentuk ‘Arabisasi total’ menjadi kesadaran akan perlunya dipupuk kembali akar-akar budaya lokal dan kerangka kesejarahan kita sendiri, dalam mengembangkan kehidupan beragama Islam di negeri ini. Penulis menggunakan istilah ‘pribumisasi Islam’, karena kesulitan mencari kata lain. ‘Domestikasi Islam terasa berbau politik, yaitu penjinakan sikap dan pengebirian pendirian.
Yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi kehidupan Islam belaka. Bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan ‘Qur’an Batak’ dan Hadis Jawa’. Islam tetap Islam, dimana saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan ‘bentuk-luar’nya. Salahkah kalau Islam ‘dipribumikan’ sebagai manifestasi kehidupan?

Sumber: TEMPO

Kejujuran Menerima Sejarah

0 komentar


                  
Oleh KH Abdurrahman Wahid

     Pada minggu pertama Januari 2003, penulis menyampaikan pidato pada acara yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Australia Universitas Indonesia (UI). Pidato itu keesokan harinya dikutip oleh sejumlah harian Ibu Kota, di samping beberapa media elektronik. Menurut keterangan, pidato itu diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin dan dimuat dalam sebuah media di Beijing. Mengapa? Penulis menyampaikan sesuatu yang selama ini tertutup, dan luput dari perhatian, tentang hubungan antara Indonesia dan Tiongkok. Mungkin juga apa yang dikemukakan penulis itu, dianggap sebagai sesuatu yang ”baru” dalam pandangan orang tentang hubungan antara kedua negeri yang sama-sama berpenduduk banyak tersebut. Paling tidak, ia tidak pernah ditulis dalam buku-buku sejarah yang digunakan di kawasan mana pun selama ini.
*
    Dalam memaparkan pentingnya arti kajian Pasifik, penulis meminta kejujuran semua pihak, sehingga hal-hal faktual belaka yang digunakan dalam kajian, yang dianggap memiliki ”kebenaran” sejarah yang kita gunakan, janganlah jadi keinginan untuk mencari kegemilangan bagi diri sendiri, golongan kita atau negeri di mana kita hidup. Harus ada kejujuran, bila kita ingin memperoleh kebenaran sejarah, sesuai dengan apa yang terjadi. Dalam hal ini, penulis sangat tertarik pada sebuah audio book yang dikeluarkan oleh BBC (British Broadcasting Corporation) tentang sejarah masa lampau Inggris. Audio book itu banyak mengungkapkan hal, baik pengkhianatan para raja, para tokoh dan para bangsawan, tanpa ditutup-tutupi. Semuanya dibuka, demi kepentingan sejarah, dan hasilnya adalah kekaguman, keuletan dan kepiawaian bangsa Inggris dalam mengemudikan sebuah negara. Kesimpulan orang, pantaslah kalau bangsa Inggris menjadi bangsa besar yang pernah ”menaklukkan” dunia.
Jadi, berlawanan dengan sangkaan sebagian orang akan ”kehebatan dan kesucian” sebuah bangsa. Sebenarnya biasa saja jika bangsa itu mengalami pasang surut dan naik-turun dalam sejarah kehidupannya. Ini adalah hal yang wajar, seperti wajarnya keyakinan bahwa Tuhan menurunkan sejumlah ajaran yang benar melalui sesuatu agama, kemudian ajaran-ajaran itu sendiri dilupakan dan tidak dijalankan oleh para pemeluknya. Termasuk Islam, jika memang benar-benar memiliki ajaran yang diwujudkan oleh kaum muslimin dalam sejarah mereka yang panjang, maka Islam tidak akan mengalami nasib seperti sekarang. Justru di sinilah terletak keharusan bagi mereka untuk selalu membuat penafsiran kembali (re-interpretasi) untuk ”menyelamatkan” Islam selama ini.
Kejujuran yang diminta dalam pidato penulis itu, adalah sikap menerima sejarah sebagaimana adanya. Dalam hal ini umpamanya, dapat dilihat sebagai bandingan apa yang dikemukakan Moh. Yamin dalam sejumlah tulisan-tulisannya tentang masa lampau Majapahit. Menurut Yamin, bendera Majapahit berkibar di perairan-perairan—mulai Madagaskar di timur Benua Afrika hingga Pulau Tahiti di Pasifik. Ia menyimpulkan, kekuasaan Majapahit ini membuktikan ”kebesaran” Indonesia di masa lampau. Benarkah klaim seperti itu, sesuai dengan kenyataan-kenyataan sejarah? Dalam pidato itu, penulis mengemukakan pandangan kritis tentang ”kebenaran sejarah” yang dipercayai oleh kacamata searah. Hal ini penulis kemukakan, agar supaya kajian Pasifik yang direncanakan pusat studi tersebut dapat berjalan objektif, dan menjadi bahan analisis kita, dan untuk itu harus memiliki ”kebenaran ilmiah” yang teruji dengan baik.
**
       ”Kebenaran ilmiah” yang terkandung dalam buku-buku dan berbagai catatan sejarah yang otentik, menunjukkan bahwa angkatan laut Majapahit adalah bagian dari sebuah angkatan laut yang lebih besar milik Kerajaan Tiongkok. Dari abad ke 13 hingga 16 Masehi, selama kurun waktu lebih dari 300 tahun, angkatan laut Tiongkok merajai perairan antara Pulau Madagaskar di Lautan Hindia, Samudera Indonesia hingga Samudera Pasifik di Pulau Tahiti. Nah, jelasnya, angkatan laut Majapahit adalah bagian dari angkatan laut Tiongkok itu. Kemungkinan besar, hubungan antara kedua angkatan laut itu terbentuk hubungan patron-client, secara halus dinamakan dominion. Seperti halnya hubungan Kanada dan Australia di satu pihak dengan Inggris di pihak lain. Kedua-duanya memiliki angkatan perang sendiri, juga bendera masing-masing, dan pengaturan diri sendiri terlepas dari apa yang dilakukan oleh kerajaan Inggris. Namun, ketiga negara memiliki ratu yang sama, dan lembaga hukum tertinggi yang sama pula, yaitu Privy Council.
Kira-kira antara kekaisaran Tiongkok dan kerajaan Majapahit selama tiga abad lebih tersebut, terdapat hubungan seperti itu. Masing-masing memiliki angkatan perang sendiri, namun menggunakan bentuk formal yang sama. Dalam hal ini, mungkin saja angkatan laut Majapahit menggunakan istilah-istilah yang berbeda dari apa yang digunakan dalam angkatan laut Tiongkok, namun tidak ada bukti sejarah yang menunjukkan bahwa angkatan laut Majapahit pernah secara independen menguasai perairan dari Madagascar di Barat hingga ke Tahiti di timur. Karena ketiadaan bukti sejarah itu, tentu kita tidak dapat mendukung claim bahwa Majapahit menguasai kedua perairan seluas itu serta gugusan pulau-pulau di antara kedauanya. Tapi, di luar hal itu kita tidak dapat membuktikannya.
Dalam buku ”1492” (quatorze neuf deux) dikemukakan lima buah kejadian besar yang mengubah total sejarah umat manusia. Diantaranya, adalah pengangkatan seorang menteri peperangan menjadi wali negara (regent) di Tiongkok, karena kaisar lama meninggal dunia dan kaisar baru masih belum cukup berumur untuk menggantikannya dalam pemerintahan. Karena itulah diperlukan seorang wali negara, yang kebetulan jatuh di tangan orang yang beragama Konghuchu. Karena takut orang-orang Tionghoa perantauan (hoa kiau) di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, akan kembali ke daratan Tiongkok dengan membawa agama mereka, dan dengan demikian menyebarkan agama Islam di Tiongkok melalui pembelian tanah, wali negara lalu memanggil seluruh kapal (jung) milik angkatan laut Tiongkok ke pantai-pantai negeri itu dan membakar kaum perantauan sekaligus. Secara efektif, ia memutuskan hubungan antara kaum perantau di negeri-negeri seberang itu dengan tanah kelahiran mereka.
Maka, terputuslah komunikasi antara orang-orang Tiongkok perantauan dan yang tinggal di negeri asal.
Dengan demikian, budaya komunitas masyarakat perantauan itu lalu diserap oleh masyarakat setempat, dan menjadi orang-orang ”asli” atau pribumi. Merekalah sebenarnya yang menjadi salah satu bagian dari penyebaran Islam di Nusantara. Karena itulah, di beberapa bagian dari negeri kita, dahulu kaum muslimin ber-madzhab Hanafi, termasuk di Majapahit. Namun dalam jangka panjang, lambat laun mereka ”di-Syafi’i-kan” oleh kaum muslimin lain melalui Samudera Pasai dan Peureulak di Aceh dalam abad XVII dan seterusnya. Kenyataan seperti inilah yang harus diselidiki oleh lembaga ilmiah kita melalui penelitian demi penelitian yang akan dilakukan. Jika fakta ini diabaikan, kita akan memperoleh pandangan yang keliru tentang masa lampau, dan ini akan mengurangi ”kebesaran” kita sendiri.
Pusat kajian tersebut oleh penulis juga diminta untuk melakukan kodifikasi dan dokumentasi berbagai manifestasi budaya manusia-manusia di kawasan Pasifik. Ini dilakukan, untuk menyusun atau merekomendasikan sebuah kajian geopolitik yang benar tentang konfigurasi bangsa-bangsa Pasifik, demi kebutuhan kita sendiri. Ini berarti, keharusan bagi kita untuk mengajak Australia melakukan hal itu, guna menyusun bersama sebuah kajian geopolitik yang baru.
***
         Terlepas dari kajian-kajian tersebut memperlihatkan dominasi ”negara-negara besar yang lama” seperti Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang. Ini semua, tentu dapat dilakukan jika Australia menghendakinya. Kerjasama seperti itu kalau ingin diwujudkan, tentu memerlukan kejujuran ilmiah kita sendiri. Mudah diucapkan, namun sulit dilakukan, bukan?

Penulis adalah budayawan dan pengagas pembentukan Forum Pasifik Barat.
                 
sumber : http://www.sinarharapan.co.id/

Cerpen Gus Mus: Mbok Yem

0 komentar





Alhamdulillah, sebelum wukuf di Arafah aku bisa menemukan ibu dan adikku di pondokan mereka di Mekkah. Mereka tinggal di kamar yang sempit bersama 4 pasang suami-istri. Masing-masing menempati kapling semuat dua orang yang hanya diberi sekat kopor-kopor. Di tengah-tengah ada sedikit ruang kosong yang dipenuhi bermacam-macam makanan dan peralatan makan. Ibu memperkenalkan saya kepada kawan-kawan kelompoknya.
Ini anak saya yang belajar di Mesir;" katanya bangga. "Sudah empat tahun tidak pulang."

Malu-malu saya menyalami mereka satu per satu. Di antara mereka itu ada dua sejoli yang sudah sangat tua. Lebih tua dari ibu. Yang laki-laki dan dipanggil Mbah Joyo lebih tua lagi. Beberapa tahun lebih tua dari Mbok Yem, istrinya. Berbeda dengan Mbah Joyo yang agak pendiam, Mbok Yem orangnya ramah dan banyak bicara, mendekati ceriwis.

Yang kemudian menarik perhatian, sekaligus membuatku agak geli, adalah kemesraan kedua sejoli itu. Mereka laiknya pengantin baru saja. Seperti tidak menghiraukan senyum-senyum dan lirikan-lirikan menggoda kawan-kawannya yang memperhatikan mereka, Mbok Yem menggelendot manja di pundak Mbah Joyo.

"Pak, kita beruntung ya," katanya sambil mengelus rambut suaminya yang putih bagai kapas. "Nak Mus ini belajar agama di Mesir, dia bisa menjadi muthawwif kita dan membimbing manasik kita." Lalu ditujukan kepadaku, "Bukan begitu, Nak Mus?"

Aku mengangguk saja sambil tersenyum.

"Kalau perlu Nak Mus pasti tidak keberatan mengantar kita ke mana-mana," katanya lagi. "Nanti Mbok Yem bikinkan sayur asem kesukaan Mbah Joyo. Mbok Yem paling ahli bikin sayur asem. Tanyakan Mbah Joyo ini, lidahnya sampai njoget jika Mbok Yem masak sayur asem."

"Tapi dia juga baru sekarang ini ke Mekkah," tukas ibuku. "Jadi di sini pengalamannya tidak lebih banyak dari kita-kita ini."

"Ya, tapi Nak Mus kan pasti pandai bahasa Arab; jadi tak akan kesasar dan bisa menolong kita jika belanja. Kita tak perlu lagi menawar-nawar pakai bahasa isyarat, kaya orang bisu."

Orang-orang pada ketawa.

"Tapi, Nak Mus ini kan tidak tinggal di sini bersama kita," kata salah seorang jamaah sambil menyodorkan segelas teh. "Terima kasih!" aku menyambut teh panas yang disodorkan.

"Ya, Nak Mus tinggalnya di mana?" tanya yang lain.

"Saya tinggal bersama kawan-kawan mahasiswa yang lain," kataku, "tapi tidak jauh dari sini kok. Saya bisa sering kemari."

"Nah, Pak, nanti kita bisa jalan-jalan ke mana saja tanpa khawatir," kata Mbok Yem lagi sambil memijit-mijit lengan Mbah Joyo. "Kita punya pengawal yang masih muda dan bisa berbahasa Arab."

"Kamu ini bagaimana," Mbah Joyo yang dari tadi hanya diam dan senyum-senyum tiba-tiba angkat bicara. "Nak Mus ke sini ini kan bukan untuk kamu saja. Tapi terutama untuk ibu dan adiknya yang sudah lama tidak bertemu. Mereka pasti ingin berkangen-kangenan."

"Ya, saya tahu," sahut Mbok Yem sambil mleroki suaminya. "Saya juga tidak bermaksud menguasai Nak Mus sendiri. Maksud saya kita bisa nginthil, ikut bersama-sama ibu dan mbak bila mereka ke masjid atau ke mana saja."

"Enak saja!"

"Sudah, sudah," kata ibuku memotong. "Sudah jam setengah sebelas. Ayo kita siap-siap ke masjid!"
***

Alhamdulillah, sejak di Arafah saya bisa bergabung bersama rombongan ibu. Malam menjelang wukuf, kami sudah sampai ke padang luas yang menjadi seperti lautan tenda itu. Beberapa orang tampak letih. Justru Mbok Yem dan Mbah Joyo --anggota rombongan yang paling tua-- sedikit pun tidak memperlihatkan tanda-tanda kelelahan. Bahkan pancaran semangat dua sejoli ini tampak jelas seperti mempermuda usia mereka. Ketika paginya, saya ajak mereka keluar kemah untuk melihat suasana Arafah yang begitu luar biasa. Meski mentari belum begitu mengganggu dengan sengatan panasnya, dia telah memberikan cahayanya yang benderang pada hamparan putih Arafah. Sejauh mata memandang, putih-putih tenda dan putih-putih kain ihram mendominasi pemandangan. Di sana-sini bercuatan bendera-bendera negara atau sekadar tanda rombongan jamaah tertentu. Dari kejauhan tampak "bukit manusia" dengan puncak sebuah tugu yang juga berwarna putih. "Apakah itu Jabal Rahmah?"

"Ya, itulah Jabal Rahmah."

"Apa betul itu tempat pertemuan pertama Bapa Adam dengan Ibu Hawa setelah mereka turun dari sorga?"

"Wallahu a’lam ya, tapi memang banyak yang percaya."

"Apa kita akan ke sana?"

"Ah, tak perlu. Lagi pula itu jauh. Kelihatannya saja dekat. Wukuf yang penting di Arafah, beristighfar dan berdoa. Di sini saya kira kita bisa lebih khusyuk."

Ketika kembali ke kemah, tampaknya kawan-kawan jamaah masih membawa kesan mereka dari melihat panorama yang belum pernah mereka saksikan itu.

"Orang kok sekian banyaknya itu dari mana saja ya?"

"Ya, ada yang hitam sekali, putih sekali, yang coklat, malah ada yang seperti tomat kemerah-merahan."

"Sekian banyak orang kok pakaiannya putih-putih semua, masya Allah!"

Semua yang berbicara itu mengarahkan pandangannya kepadaku, seolah-olah komentarku memang mereka tunggu. Atau ini hanya perasaanku saja. Tapi aku bicara juga. "Kata guru saya, inilah gambaran mini nanti saat kita di padang Makhsyar, ketika semua orang dibangunkan dari alam kubur. Tak ada kaya tak ada miskin; tak ada orang besar tak ada orang kecil; tak ada bangsawan tak ada jelata; semuanya sama. Semuanya digiring di padang terbuka seperti di Arafah ini. Bedanya, di sini masih ada tenda dan naungan-naungan lain; di sana kelak, tidak. Masing-masing orang akan dimintai pertanggungjawaban atas amal perbuatannya selama hidup di dunia."

Aku berhenti, karena kudengar ada isak tangis yang semakin lama semakin mengeras. Ternyata tangis Mbok Yem di pangkuan Mbah Joyo yang juga terlihat berkaca-kaca kedua matanya. Seisi kemah pun terdiam. Sampai datang seorang petugas kloter menyuruh semuanya bersiap-siap untuk acara salat bersama --Dhuhur dan Asar-- dan melanjutkan ritual wukuf dengan berdzikir dan berdoa.

Aku perhatikan, sejak selesai acara salat dan berdoa bersama, hingga akhirnya masing-masing berdzikir dan berdoa sendiri-sendiri, Mbok Yem dan Mbah Joyo terus menangis dan hanya mengulang-ulang astaghfirullah, astaghfirullah... Memohon ampun kepada Allah. Tak terdengar kedua sejoli tua ini berdzikir atau berdoa yang lain.
***
Malam ketika arus air bah kendaraan dan manusia mengalir dari Arafah ke Muzdalifah dan Mina, di atas bus kami sendiri, hanya terdengar talbiyah dan takbir. Kecuali sepasang mulut yang masih terus beristighfar. Mulut Mbok Yem dan Mbah Joyo.

Menjelang dini hari kami sampai wilayah Muzdalifah. Dari kejauhan, kerlap-kerlip lampu tampak semakin memperindah panorama Masy’aril Haram. Bus kami berhenti dan rombongan berhamburan turun dalam gelap, mencari batu-batu kerikil untuk melempar Jamrah. Ibu aku minta tetap di bus, aku dan adikku saja yang turun. Yang lain ternyata turun semua. Beberapa di antaranya ada yang sudah siap dengan lampu senter kecil dan kantong kain tempat batu-batu kerikil. Di sana-sini terlihat beberapa kendaraan juga sedang parkir, menunggu para penumpangnya mencari kerikil.

"Jangan jauh-jauh!" terdengar suara ketua rombongan memperingatkan. Orang-orang tidak mau mendengarkan. Bukan karena apa-apa. Mereka sudah telanjur tidak simpati kepada petugas yang menurut mereka hanya pandai bicara saja. Tak pernah ngurus jamaah. Menemui jamaah hanya kalau mau menarik pungutan ini-itu yang tidak jelas peruntukannya.

Tapi ketika sudah cukup lama dan masih banyak yang ke sana-kemari, aku dan beberapa orang yang sudah dari tadi selesai mencari kerikil, ikut membantu ketua rombongan meneriaki dan bertepuk-tepuk tangan; memperingatkan mereka agar segera naik kendaraan. Apalagi sopir bus --orang Mesir-- sudah ngomel-ngomel terus sambil naik-turun bus, tidak sabar. Apalgi kendaraan-kendaraan yang lain pun sudah cabut bersama para penumpangnya menuju Mina.

Mereka akhirnya kembali juga naik bus, meski ada di antara mereka yang sambil menggerutu, "Sopir kok didengerin. Ini kan ibadah. Di sini aturannya kita kan menginap. Mengapa buru-buru?"

"Sudahlah, mungkin si sopir mempertimbangkan padatnya lalu-lintas, takut terlambat sampai Mina," aku mencoba menyabarkan si penggerutu."Lagi pula kita kan di sini sudah melewati jam 12. Jadi sudah terhitung menginap."

Tiba-tiba, ketika ketua rombongan baru mengabsen dan menghitung jamaah, terdengar Mbok Yem teriak histeris, "Mbah Joyo! Mana Mbah Joyoku?!" Seketika semuanya baru menyadari bahwa Mbah Joyo belum kembali. Mbok Yem meloncat turun dari bus sambil terus menangis dan menjerit-jerit memanggil-manggil suaminya. Hampir seisi bus ikut turun. Ibu dan adikku mengikutiku mengejar Mbok Yem, mencoba menenangkannya.

"Tenanglah, Mbok Yem," bujuk ibuku sambil merangkul perempuan tua itu. "Mbah Joyo tidak ke mana-mana. Kita pasti akan menemukannya."

"Iya, Mbok," adikku ikutan membujuk. "Kalau pun Mbah Joyo kesasar, di sini ada petugas khusus yang ahli menemukan orang kesasar. Percayalah."

"Ya, Mbok, kalau memang betul-betul kesasar, saya nanti yang akan menghubungi polisi atau petugas yang lain," aku menimpali. "Mbah Joyo pasti kembali bersama kita lagi."

Aku sendiri dan mungkin juga ibu dan adikku tidak begitu yakin dengan apa yang kami katakan. Namun alhamdulillah, meski masih terisak dan bicara sendiri, Mbok Yem bisa agak tenang. "Mbah Joyo itu penyelamatku!" desisnya berkali-kali.

Kepala rombongan dan beberapa orang lelaki, termasuk sopir, yang mencoba mencari sampai di luar area tempat mereka tadi mencari kerikil, sudah kembali tanpa hasil. Ada yang menduga Mbah Joyo mungkin kesasar naik kendaraan lain yang diparkir di dekat mereka. Kita berunding dan sepakat akan meneruskan perjalanan sambil mencari. Semua kembali naik bus. Mbok Yem yang dibimbing ibu dan adikku, sebentar-sebentar masih menoleh ke arah padang gelap Muzdalifah. Ibu mengawani duduk dan masih terus merangkul sahabat tuanya yang kini diam saja itu.
***
Subuh, kami baru sampai Mina. Semuanya terlihat letih, lebih-lebih Mbok Yem. Untung, tidak lama mencari, kami telah sampai kemah maktab kami. Dan, begitu masuk kemah, bukan main terkejut kami. Kami melihat Mbah Joyo sedang duduk bersila menyantap buah anggur dari pinggan besar yang penuh aneka buah-buahan. (Selain anggur, ada apel, jeruk, pisang, buah pir, dll).

Mbok Yem langsung menjerit, "Mbah Joyo!" dan menghambur serta memeluk dan menciumi suaminya itu sambil menangis gembira. Mbah Joyo sendiri hanya tersenyum-senyum agak malu-malu. Sejenak yang lain masih terpaku keheranan. Baru kemudian meluncur hampir serempak, "Alhamdulillaaaah!"

Semuanya kemudian merubung Mbah Joyo yang masih terus dipeluk, dielus, dan diciumi Mbok Yem. Semuanya gembira.

"Sudah dulu, Mbok Yem," tegur ketua rombongan, "nanti dilanjutkan kangen-kangenannya. Biarlah Mbah Joyo bercerita dulu." Kemudian kepada Mbah Joyo, "Mbah Joyo, Sampeyan ke mana saja semalam?"

"Iya, Mbah," sela yang lain, "Sampeyan salah masuk bus ya?!"

"Kok tahu-tahu Mbah Joyo sudah sampai di sini ini ceritanya bagaimana?" tanya yang lain lagi.

"Mbah Joyo sudah melempar jumrah ’aqabah?"

Mbah Joyo mengangguk sambil tersenyum. "Lihat, kan saya sudah pakai piyama!" Kemudian bercerita seperti sedang menceritakan sebuah dongeng.

"Saya tidak kesasar dan tidak salah naik bus. Saya bertemu dengan seorang muda yang gagah dan ganteng dan diajak naik kendaraannya yang bagus sekali. Saya bilang bahwa saya bersama rombongan kawan dan istri saya. Dia bilang sudah tahu dan meyakinkan saya bahwa nanti saya akan ketemu juga di Mina. Bapak sudah tua, katanya, nanti capek kalau naik bus. Akhirnya saya ikut. Sampai Mina saya dibawa kemari, disuruh istirahat sebentar. Saya tertidur entah berapa lama. Tahu-tahu menjelang subuh saya dibangunkan dan diajak melempar jumrah ’aqabah. Setelah itu saya diantar kemari lagi. Sambil meninggalkan buah-buahan ini, dia pamit dan katanya sebentar lagi kalian akan datang. Dan ternyata dia benar."

"Dia itu siapa, Mbah? Orang mana?"

"Wah iya. Saya lupa menanyakannya. Soalnya begitu ketemu dia itu langsung akrab. Jadi saya kemudian sungkan dan akhirnya, sampai dia pergi, saya lupa menanyakan nama dan asalnya."

"Ajaib!"
***

Sesudah selesai melempar jumrah ’aqabah, rupanya jamaah sudah tak tahan lagi. Mereka bergelimpangan melepas lelah. Dan tak lama terdengar suara ngorok dari sana-sini. Kulihat Mbok Yem sendiri yang tampak masih segar dan ceria. Dia malah bercerita sambil memijit kaki ibuku. "Mumpung Mbah Joyo tidur," katanya. Sementara aku dan adikku ikut mendengarkan sambil tiduran. Namun tersentuh cerita Mbok Yem, tak terasa kami berdua akhirnya terduduk juga.

Rupanya Mbok Yem yakin apa yang dialami Mbah Joyo itu merupakan anugerah Allah yang ada kaitannya dengan amal perbuatannya. Dia menceritakan mengapa dia sampai histeris ketika Mbah Joyo hilang di Muzdalifah. Mbok Yem ternyata dulunya adalah WTS --sekarang "diperhalus" istilahnya menjadi Pekerja Seks Komersial-- dan Mbah Joyo adalah "langganan"-nya yang dengan sabar membuatnya sadar, mengentasnya dari kehidupan mesum itu, dan mengawininya. Lalu Mbok Yem dan Mbah Joyo memulai kehidupan yang sama sekali baru. Di samping mendampingi Mbah Joyo bertani, Mbok Yem berjualan pecel, kemudian meningkat dengan membuka warung makan kecil-kecilan. Dan sebagian dari hasil pekerjaan mereka itu, mereka tabung sedikit demi sedikit. Bahkan mereka rela hidup tirakat, demi mencapai cita-cita mereka: naik haji. Mereka mempunyai keyakinan bahwa dosa-dosa mereka hanya bisa benar-benar diampuni, apabila beristighfar di tanah suci, di Masjidil Haram, di Arafah, di Muzdalifah, dan di Mina. Seperti kata pak kiai di kampungnya, haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga. Ternyata baru setelah setua itu, uang yang mereka tabung cukup untuk ongkos naik haji.

"Alhamdulillah, Mbah Joyo tidak benar-benar hilang," kata Mbok Yem mengakhiri ceritanya. "Sehingga kami berdua masih berkesempatan menyempurnakan ibadah haji kami. Semoga Allah memudahkan. Setelah selesai nanti, kami ikhlas, kalau Yang Maha Agung hendak memanggil kami kapan saja. Syukur di sini, di tanah suci ini."

Mbok Yem mengusap airmatanya, airmata bahagia, baru kemudian pelan-pelan dibaringkan tubuhnya di sisi ibuku. *** 

Biografi Mahfud MD

0 komentar


Mahfud yang nama lengkapnya Mohammad Mahfud dilahirkan pada 13 Mei 1957 di Omben, Sampang Madura, dari pasangan Mahmodin dan Suti Khadidjah. Mahmodin, pria asal Desa Plakpak, Kecamatan Pangantenan ini adalah pegawai rendahan di kantor Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang. Mahmodin lebih dikenal dengan panggilan Pak Emmo (suku kata kedua dari Mah-mo-din, yang ditambahi awalan em). Dalam bislit pengangkatannya sebagai pegawai negeri, Emmo diberi nama lengkap oleh pemerintah menjadi Emmo Prawiro Truno. Sebagai pegawai rendahan, Mahmodin kerap berpindah-pindah tugas. Setelah dari Omben, ketika Mahfud berusia dua bulan, keluarga Mahmodin berpindah lagi ke daerah asalnya yaitu Pamekasan dan ditempatkan di Kecamatan Waru. Di sanalah Mahfud menghabiskan masa kecilnya dan memulai pendidikan sampai usia 12 tahun. Dimulai belajar dari surau sampai lulus SD.

Mahfud adalah anak keempat dari tujuh bersaudara, Tiga kakaknya antara lain Dhaifah, Maihasanah dan Zahratun. Sementara ketiga adiknya bernama Siti Hunainah, Achmad Subkhi dan Siti Marwiyah. Latar kehidupan keluarganya yang berada di lingkungan taat beragama membuat pemberian nama arab tersebut penting. Khusus bagi Mahfud, arti dari nama “Mahfud” sendiri adalah “orang yang terjaga”. Dengan nama itu diharapkan Mahfud senantiasa terjaga dari hal-hal yang buruk. Adapun inisial MD di belakang nama Mahfud adalah singkatan dari nama ayahnya, Mahmodin, dan bukan merupakan gelar akademik seperti sebagian orang menganggapnya.

Sebenarnya sampai lulus SD tidak ada inisial MD di belakang nama Mahfud. Baru ketika ia memasuki sekolah lanjutan pertama, tepatnya masuk ke Pendidikan Guru Agama (PGA), tambahan nama itu bermula. Saat di kelas I sekolah tersebut ada tiga murid yang bernama Mohammad Mahfud. Hal itu membuat wali kelasnya meminta agar di belakang setiap nama Mahfud diberi tanda A, B, dan C. Namun karena kode tersebut dirasa seperti nomer becak, wali kelas lalu memutuskan untuk memasang nama ayahnya masing-masing dibelakang nama mahfud. Jadilah Mahfud memakai nama Mahfud Mahmodin sedangkan teman sekelasnya yang lain bernama Mahfud Musyaffa’ dan Mahfud Madani. Dalam perjalanannya, Mahfud merasa bahwa rangkaian nama Mahfud Mahmodin terdengar kurang keren sehingga Mahmodin disingkatnya menjadi MD. Tambahan nama inisial itu semula hanya dipakai di kelas, tetapi pada waktu penulisan ijazah kelulusan SMP (PGA), inisial itu lupa dicoret sehingga terbawa terus sampai ijazah SMA, Perguruan Tinggi, dan Guru Besar. Hal itu disebabkan karena  nama pada ijazah di setiap tingkat dibuat berdasarkan nama pada  ijazah sebelumnya. Berangkat dari situlah nama resmi Mahfud menjadi Moh. Mahfud MD.  


Secara umum, pendidikan atau sekolah Mahfud cenderung zig-zag. Maksudnya, rangkaian pendidikannya merupakan kombinasi dari pendidikan agama dan pendidikan umum. Mahfud mengenyam pendidikan dasar dengan belajar agama Islam dari surau dan madrasah diniyyah di desa Waru, utara Pamekasan. Masuk usia tujuh tahun, Mahfud  disibukkan dengan belajra setiap harinya. Pagi hari menjalani pendidikan Sekolah Dasar, belajar di madrasah ibtidaiyah pada sorenya, dan menghabiskan waktu malam hingga pagi di surau. Setamat dari SD, Mahfud dikirim belajar ke Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Pamekasan. Pada masa itu, ada kebanggaan tersendiri bagiorang Madura kalau anaknya bisa menjadi guru ngaji, ustadz, kyai atau guru agama. Lulus dari PGA setelah 4 tahun belajar, Mahfud terpilih mengikuti Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), sebuah sekolah kejuruan unggulan milik Departemen Agama yang terletak di Yogyakarta. Sekolah ini merekrut luluan terbaik dari PGA dan MTs seluruh Indonesia.

Mahfud tamat dari PHIN pada 1978, rencananya hendak melanjutkan sekolah ke PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur'an) di Mesir. Sementara menunggu persetujuan beasiswa, Mahfud coba-coba kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Fakultas Sastra (Jurusan Sastra Arab) UGM. Tapi rupanya karena telanjur betah di Fakultas Hukum, Mahfud memutuskan meneruskan pendidikan ke Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang dirangkapnya dengan kuliah di Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gadjah Mada Jurusan Sastra Arab. Namun kuliahnya di Fakutas Sastra tidak berlanjut karena merasa ilmu bahasa Arab yang diperoleh di jurusan itu tidak lebih dari yang didapat ketika di pesantren dulu.

Mengingat kemampuan ekonomi orang tua yang pas-pasan, Mahfud giat mencari biaya kuliah sendiri termasuk gigih mendapatkan beasiswa. Hal itu tidak sulit bagi Mahfud, melalui tulisan-tulisan yang dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat dan Harian Masa Kini, Mahfud berhasil mendapatkan honorarium. Begitu juga, beasis Rektor UII, Yayasan Supersemar dan Yayasan Dharma Siswa Madura berhasil diperolehnya.

Lulus dari Fakultas Hukum pada tahun 1983, Mahfud tertarik untuk ikut bekerja, mengajar di almamaternya sebagai dosen dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sekian waktu menggeluti ilmu hukum, Mahfud menemukan berbagai kegundahan terkait peran dan posisi hukum. Kekecewaannya pada hukum mulai terungkap, Mahfud menilai hukum selalu dikalahkan oleh keputusan-keputusan politik. Berangkat dari kegundahan itu, Mahfud termotivasi ingin belajar Ilmu Politik. Menurut Mahfud, hukum tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya karena selalu diintervensi oleh politik. Dia melihat bahwa energi politik selalu lebih kuat daripada energi hukum sehingga ia ingin belajar ilmu politik.

Oleh sebab itu, ketika datang peluang memasuki Program Pasca Sarjana S-2 dalam bidang Ilmu Politik pada tahun1985 di UGM, Mahfud tanpa ragu-ragu segera mengikutinya. Di UGM, Mahfud menerima kuliah dari dosen-dosen Ilmu Politik terkenal seperti Moeljarto Tjokrowinoto, Mochtar Mas’oed, Ichlasul Amal, Yahya Muhamin, Amien Rais, dan lain-lain.

Keputusannya mengambil Ilmu Politik yang notabene berbeda dengan konsentrasinya di bidang hukum tata negara bukan tanpa konsekuensi. Sebab sebagai dosen (PNS), bila mengambil studi lanjut di luar bidangnya tidak akan dihitung untuk jenjang kepangkatan. Karena itulah selepas lulus dari Program S-2 Ilmu Politik, Mahfud kemudian mengikuti pendidikan Doktor (S-3)  dalam Ilmu Hukum Tata Negara di Program Pasca Sarjana UGM sampai akhirnya lulus sebagai doktor (1993). Disertasi doktornya tentang “Politik Hukum” cukup fenomenal dan menjadi bahan bacaan pokok di program pascasarjana bidang ketatanegaraan pada berbagai perguruan tinggi karena pendekatannya yang mengkombinasikan dua bidang ilmu yaitu ilmu hukum dan ilmu politik.

Dalam sejarah pendidikan doktor di UGM, Mahfud tercatat sebagai peserta pendidikan doktor yang menyelesaikan studinya dengan cepat. Pendidikan S-3 di UGM itu diselesaikannya hanya dalam waktu 2 tahun 8 bulan. Sampai saat itu (1993) untuk bidang Ilmu-Ilmu Sosial di UGM hampir tidak ada yang bisa menyelesaikan secepat itu, rata-rata pendidikan doktor diselesaikan selama 5 tahun. Tentang kecepatannya menyelesaikan studi S-3 itu Mahfud mengatakan bukan karena dirinya pandai atau memiliki keistimewaan tertentu, malainkan karena ketekunan dan dukungan dari para promotornya yaitu Prof. Moeljarto Tjokrowinoto, Prof. Maria SW Sumardjono, dan Prof. Affan Gaffar. Selain selalu tekun membaca dan menulis di semua tempat untuk keperluan disertasinya, ketiga promotor tersebut juga mengirim Mahfud ke Amerika Serikat, tepatnya ke Columbia University (New York) dan Northern Illinois University (DeKalb) untuk melakukan studi pustaka tentang politik dan hukum selama satu tahun. Ketika melakukan studi pustaka di Pusat Studi Asia, Columbia University, New York Mahfud berkumpul dengan Artidjo Alkostar, senior dan mantan dosennya di Fakultas Hukum UII yang sekarang menjadi hakim agung, sedangkan ketika menjadi peneliti akademik di Northern Illinois University, DeKalb Mahfud berkumpul dengan Andi A. Mallarangeng yang sekarang menjadi juru bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika itu Andi Mallarangeng menjadi Ketua Perhimpunan Muslim di wilayah itu sehingga Mahfud diberi satu kamar tanpa menyewa di sebuah kamar yang dijadikan masjid dan tempat berkumpulnya keluarga mahasiswa muslim di berbagai negara. 

Di masa awal studinya di perguruan tinggi, pria jebolan pesantren salaf ini dihadapkan dengan kesulitan ekonomi. Ayahnya telah memasuki usia pensiun, sementara ia harus membiayai dua kuliahanya (di Fakultas Hukum UII, dan Sastra Arab UGM). Menyikapi kondisi itu, Mahfud tak patah arang, ia mencari tambahan biaya kuliahnya dengan aktif menulis di media massa seperti harian Kedaulatan Rakyat dan koran-koran umum lainnya yang memberikan honorarium. Mahfud juga mencari beasiswa untuk kelangsungan kuliah-kuliahnya. Dengan nilai yang membanggakan, tidak terlalu sulit bagi Mahfud untuk mencari beasiswa. Pada tahun pertama, saat ia menempuh program S-1, ia memperoleh beasiswa dari Rektor UII sebagai mahasiswa terbaik. Anak keempat dari tujuh bersaudara ini juga mendapat beasiswa dari Yayasan Dharma Siswa Madura, dan beasiswa dari Yayasan Supersemar. Ketika menempuh pendidikan S-2 di UGM ia mendapat beasiswa penuh dari UII sebagai perguruan tinggi yang mensponsori studinya. Sedangkan pada saat menempuh pendidikan S-3 di UGM ia mendapat beasiswa dari Yayasan Supersemar dan dari Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

  Lulus dari Fakultas Hukum pada tahun 1983 Mahfud bekerja sebagai dosen di almamaternya dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kekecewaannya pada hukum yang menurutnya selalu dikalahkan oleh keputusan-keputusan politik menyebabkan Mahfud ingin belajar Ilmu Politik. Dia melihat, bahwa hukum tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya karena selalu diintervensi oleh politik. Dia melihat bahwa energi politik selalu lebih kuat daripada energi hukum sehingga ia ingin belajar ilmu politik.

            Oleh sebab itu ketika ada kesempatan memasuki Program Pasca Sarjana S-2 dalam bidang ilmu politik (1985) di UGM, ia segera mengikutinya. Di sana, ia diberi kuliah oleh dosen-dosen ilmu politik yang sudah terkenal seperti Moeljarto Tjokrowinoto, Mohtar Mas’oed, Ichlasul Amal, Yahya Muhamin, Amien Rais, dan lain-lain. Keputusannya mengambil Ilmu Politik yang notabene berbeda dengan konsentrasinya di bidang hukum tata negara bukan tanpa konsekwensi. Sebab sebagai dosen (PNS), bila mengambil studi lanjut di luar bidangnya tidak akan dihitung untuk jenjang kepangkatan. Karena itulah selepas lulus dari Program S-2 Ilmu Politik, Mahfud kemudian mengikuti pendidikan doktor (S-3)  dalam Ilmu Hukum Tata Negara di Program Pasca Sarjana UGM sampai akhirnya lulus sebagai doktor (1993). Disertasi doktornya tentang “politik hukum” cukup fenomenal dan menjadi bahan bacaan pokok di program pascasarjana bidang ketatanegaraan pada berbagai perguruan tinggi karena pendekatannya yang mengkombinasikan dua bidang ilmu yaitu ilmu hukum dan ilmu politik.

            Dalam sejarah pendidikan doktor di UGM, Mahfud tercatat sebagai peserta pendidikan doktor yang menyelesaikan studinya dengan cepat. Pendidikan S-3 di UGM itu diselesaikannya hanya dalam waktu 2 tahun 8 bulan. Sampai saat itu (1993) untuk bidang Ilmu-Ilmu Sosial di UGM hampir tidak ada yang bisa menyelesaikan secepat itu, rata-rata pendidikan doktor diselesaikan selama 5 tahun.

            Tentang kecepatannya menyelesaikan studi S-3 itu Mahfud mengatakan bukan karena dirinya pandai atau memiliki keistimewaan tertentu, malainkan karena ketekunan dan dukungan dari para promotornya yaitu Prof. Moeljarto Tjokrowinoto, Prof. Maria SW Sumardjono, dan Prof. Affan Gaffar. Selain selalu tekun membaca dan menulis di semua tempat untuk keperluan disertasinya, ketiga promotor tersebut juga mengirim Mahfud ke Amerika Serikat, tepatnya ke Columbia University (New York) dan Northern Illinois University (DeKalb) untuk melakukan studi pustaka tentang politik dan hukum selama satu tahun. Ketika melakukan studi pustaka di Pusat Studi Asia, Columbia University, New York Mahfud berkumpul dengan Artidjo Alkostar, senior dan mantan dosennya di Fakultas Hukum UII yang sekarang menjadi hakim agung, sedangkan ketika menjadi peneliti akademik di Northern Illinois University, DeKalb Mahfud berkumpul dengan Andi A. Mallarangeng yang sekarang menjadi juru bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika itu Andi Mallarangeng menjadi Ketua Perhimpunan Muslim di wilayah itu sehingga Mahfud diberi satu kamar tanpa menyewa di sebuah kamar yang dijadikan masjid dan tempat berkumpulnya keluarga mahasiswa muslim di berbagai negara.
            Mahfud tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Hukum UII pertama yang meraih derajat doktor pada tahun 1993. Dia meloncat mendahului bekas dosen dan senior-seniornya di UII, bahkan tidak sedikit dari bekas dosen dan senior-seniornya yang kemudian menjadi mahasiswa atau dibimbingnya dalam menempuh pendidikan pascasarjana
 Sejak SMP, Mahfud remaja tertarik menyaksikan hingar bingar kampanye pemilu. Disitulah bibit-bibit kecintaannya pada politik terlihat. Pada masa kuliah kecintaannya pada politik semakin membuncah dan disalurkannya dengan malang melintang diberbagai organisasi kemahasiswaan intra universiter seperti Senat Mahasiswa, Badan Perwakilan Mahasiswa, dan Pers Mahasiswa. Sebelumnya Mahfud juga aktif di organisasi ekstra universiter Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pilihannya pada HMI didorong oleh pemahamannya terhadap medan politik di UII. Saat itu untuk bisa menjadi pimpinan organisasi intra kampus harus berstempel sebagai aktivis HMI. Namun dari beberapa organisasi intra kampus yang pernah ia ikuti, hanya Lembaga Pers Mahasiswa yang paling ia tekuni. Sejarah mencatat ia pernah menjadi pimpinan di majalah Mahasiswa Keadilan (tingkat fakultas hukum), ia juga memimpin Majalah Mahasiswa Muhibbah (tingkat universitas). Karena begitu kritis terhadap pemerintah Orde Baru, Majalah Muhibbah yang pernah dipimpinnya pernah dibreidel sampai dua kali. Pertama dibreidel oleh Pangkopkamtib Soedomo (tahun 1978) dan terakhir dibreidel oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo pada tahun 1983.

Profil Singkat

Nama Moh. Mahfud MD
Alamat Jl. Medan Merdeka Barat No.6 Jakarta Pusat
Tempat/Tanggal Lahir Sampang, Madura / 13 Mei 1957
Agama Islam
Jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi RI
Pendidikan 1. Madrasah Ibtida'iyah di Pondok Pesantren al Mardhiyyah, Waru, Pamekasan, Madura.
2. SD Negeri Waru Pamekasan, Madura.
3. Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN), SLTP.
4 Tahun, Pamekasan Madura 4. Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), SLTA 3 Tahun,
   Yogyakarta.
5. S1 Fakultas Hukum, Jurusan Hukum Tata Negara, Universitas Islam Indonesia (UII),
    Yogyakarta.
6. S1 Fakultas Sastra dan Kebudayaan (Sasdaya) Jurusan Sastra Arab, Universitas
    Gajah Mada, Yogyakarta.
7. Program Pasca Sarjana S2, Ilmu Politik, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
8. Program Doktoral S3, Ilmu Hukum Tata Negara, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Karir H Moh Mahfud MD lebih dikenal sebagai staf pengajar dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta sejak tahun 1984. Sebelum menjabat sebagai Hakim Konstitusi Prof Mahfud MD pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI (2000-2001), Menteri Kehakiman dan HAM (2001), Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) (2002-2005), Rektor Universitas Islam Kadiri (2003-2006), Anggota DPR-RI, duduk Komisi III (2004-2006), Anggota DPR-RI, duduk Komisi I (2006-2007), Anggota DPR-RI, duduk di Komisi III (2007-2008), Wakil Ketua Badan Legislatif DPR-RI (2007-2008), Anggota Tim Konsultan Ahli Pada Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Depkum-HAM Republik Indonesia. Selain itu, beliau juga masih aktif mengajar di Universitas Islam Indonesia (UII), UGM, UNS, UI, Unsoed, dan lebih dari 10 Universitas lainnya pada program Pasca Sarjana S2 & S3. Mata kuliah yang diajarkan adalah Politik Hukum, Hukum Tata Negara, Negara Hukum dan Demokrasi serta pembimbing penulisan tesis dan desertasi.
Organisasi Mahkamah Konstitusi RI

 




 

Segores Tinta

0 komentar



hadapkan perhatian kepada jiwa,
tegakkan sempurna budi utama,
dengan jiwamu bukan badan,
engkau sempurna menjadi insan

tetap tenang, tenang dan tenang, jangan rusak harimu dengan kecerobohan dalam menghadapi masalah

dr air mtmu q mngrti ksh syang, dr ttapan sndumu q mngrti hrapn, dr snr wjhmu q mngrti keindahn, dr snyummu q mngrti keikhlasan, dr tawamu q mngrti kbhgyaan, dan dr htmu q mngrti prshbtan
prshbtan bkn bgmn qm mlupakn kslahnx, tp bgmn qm mmafkan kslhanx, bkn bgmn qm mndngr tp bgmn qm mmahami, bkn bgmn qm mlhat tp bgmn qm mrasa, bkn bgmn qm prgi tp bgmna qm kmbli, thkah qm, hnya qm lah yg dpt mngrti aq, shbtq

sekian lama sdh, kt tlah brpsah, q rs kni, engkau t'sndri lgy, aq pun kni jg sprti drmu.
t'prlu engkau tw rs rndu ini, dan lagi mgkin kni kw tlah bhgy

namun andai kw dngar, syair lagu ini, jjur sj aq sngat mrndknmu

mmang t'pnts, brkhyal tntang drmu, sbb kw t'lgy spt yg dlu, kndati brt rs rnduq pdmu, biar q hadang rnduq trlarang

q puisikan rndu dihtq

~Ebiet G. Ade-Rindu Terlarang~

apa saja yg prnh engkau lkukn tw ktkn, tw prlhtkn, tw alami, smw tu mnnjukkn pdq hngga mmbrq kbhgyaan. & engkau engkau mmbyrkn smw yg aq lkukn krn aq mcntaimu & ingn mmbrimu kbhgyaan

ya Allah, jdknlh skrang ini dan hr esok ckp utk brpijak mnghdapi tntangan slnjutnya

qoola shohabat Ali R.A.: tdk ada kbhgyaan yg lbh bhgy drpd stlah mnunaikan kwajiban

q g'prnah mmintamu tuk mcntaiq stlus htmu, jg g'prnah mmintamu tuk mmbriq satu arti ksh syng drmu, tp hny st yg q mnta, mhn izinknlah aq mcntaimu stlus htq,.edc

t'prnh q bs mngungkpkn rs ni, q mhn mfkn aq yg t'prnh smprna dmtmu, jauh dilubuk htq, aq g prnh ingn khlangnmu

I wonder where u are
Do u still think of me too?
U've hurt so much my heart...
I'm thinking of nothing, but o u!

dan hati yg tyda tergetar mrasakn smwnya,mati daiats kgersangan sahara, dn sypkh yg mmpu mnghidupkan hti nie, adakah sseorg yg mmpu mmbri steguk air telaga kautsar

sat smw kbhgyan terkekang, hnya hatilah ygmmpummbebaska­n
ketenangan hati, ketenangan jiwa

Cintaq tak sdlm p yg kw rskan, jg tak stinggi p yg kw impikan, tak seindah irama toots serenade piano, tp q ingn satu yg kw tw, satu isi ht yg q pndam dlm qalbuq, satu isi ht yg q rskn dlm mlmq, krn Q bngga mmanggilmu...

"SAHABATKU"

jk q diberi ksmptan tuk mmilh, mk q akn mmilh yg bs mnghrgaiq dan yg mw brjuang brsmaq

live not just for love

pgie yg crah dgn snyum mntri yg indh, mnghntarkn smangat kbrsmaan mnghys plukan prshbtn, slmt pg n slmt brjuang kawan

u r my pssion, my life, my love. Wthout u I would have no reason to live. All the stars in the universe couldn't replace what we have together. I tnx u 4 the love we have n ur gentleness. Neva forget me, as I will neva 4get u.
u r the sun in my day, the wind in my sky, the waves in my ocean and the beat in my heart, I Love u!

mega htm klabu yg brglayut diats langt klbuq, mlegkapi sgla kragu2an mrasuk ht, q tmpahkn sgl rhs yg t'prnh trucap, q tlskan sbait syair yg t'prnah trsirat, entah mngapa q spt nie, utk smwx, af kn aq

Love does not begin and end the way we seem to think it does. Love is a battle, love is a war; love is a growing up. *James Bladwin*

CINTA yang dibangkitkan
oleh khayalan yang salah
dan tidak pada tempatnya
bisa saja menghantarkanny­a
pada keadaan ekstasi.
Namun kenikmatan itu,
jelas tidak seperti bercinta dengan kekasih sebenarnya
kekasih yang sedar akan hadirnya seseorang

jalaludin rumi

Meniti indah langit bertabur bintang dgn bermandikn chy bulan tuk mencapai surga-Mu

Dalam kehidupan, manusia terkadang mudah mengeluh dan menyerah pada keadaan. Tapi dengan dorongan orang-orang yang kita cintai disekitar kita, semangat kita akan bangkit kembali dan meraih kemenangan.

pertanyaan paling penting dan mendasar dalam hidup, 'sudahkah anda
bermanfaat untuk orang lain?

I can see you if you're not with me, I can say to my self if you're okay
I can feel you if you're not with me, I can reach you my self you show me the way



Aku Tak Bisa Lagi Menyanyi Oleh KH. A. Mustofa Bisri

0 komentar


bagiku kini tak ada lagi lirik dan musik yang menarik
untuk kunyanyikan bersamamu atau sendiri

burung-burung terlalu berisik
mendendangkan apa saja setelah mereka merdeka
membuatku tak dapat lagi mengenali suaramu atau suaraku sendiri

taman tempat kita istirah.. becek darah..
yang seharusnya tak tumpah..

jalan-jalan tempat kita mendekatkan hati
tertutup dihadang geram dan amarah

malam-malam tempat kita menyembunyikan cinta
telah dionarkan kobaran kebencian..

daging-daging yang selama ini kita manjakan pun
ikut terpanggang api dendam

udara di sekitar kita meluapkan bau terlalu anyir..
dan lalat-lalat berpesta dimana-mana..

bagaimana aku bisa menyanyi..
aku tak mampu meski menyanyikan lagu duka..
aku tak bisa mengadukan duka pada duka
mengeluhkan luka pada luka
senar gitarku putus
dan aku tak yakin mampu menyambungnya lagi

dan langit pun seolah sudah muak
dengan lagu-lagu bumi yang sumbang

maaf sayang,
aku tak bisa lagi menyanyi bersamamu atau sendiri
entah..
jika tiba-tiba nabi daud datang membawa seruling ajaibnya

Negeri HaHa HiHi

0 komentar


Bukan karena banyaknya grup lawak, maka negriku selalu kocak
Justru grup – grup lawak hanya mengganggu dan banyak yang bikin muak
Negriku lucu, dan para pemimpinnya suka mengocok perut

Banyak yang terus pamer kebodohan dengan keangkuhan yang menggelikan
Banyak yang terur pamer keberanian dengan kebodohan yang mengharukan
Banyak yang terus pamer kekerdilan dengan teriakan memilukan
Banyak yang terus pamer kepengecutan dengan lagak yang memuakkan
hahaha penegak keadilan jalannya miring Penuntut
keadilan kepalanya pusing
Hakim main mata dengan maling
Wakil rakyat baunya pesing hihihihi
kalian jual janji – janji untuk menebus kepentingan sendiri
kalian hafal pepatah produktif untuk mengelabui mereka yang tertindih
Pepatah petitih hahaha 
Anjing menggonggong kafilah berlalu, sambil menggonggong kalian terus berlalu hahaha
Ada udang dibalik batu, udang kepalanya batu hahaha
Sekali dayung 2 pulau terlampaui, sekali untung 2 pulau terbeli hahaha
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, kalian mati meninggalkan hutang hahaha
Hujan emas dinegri orang, hujan batu dinegri sendiri,
lebih baik yook hujan – hujanan caci maki.

10 Wisata Alam Yang Patut Dikunjungi Di Banyuwangi

1 komentar

1. Kawah Ijen (Ijen Crater) 


Kawah Ijen adalah kawah terbesar di jawa yang terletak di puncak gunung ijen Banyuwangi dengan ketinggian 2.368 meter di atas permukaan laut. Yang menarik adalah kawah ini terletak di tengah kaldera yang terluas di Pulau Jawa. Ukuran kaldera sekitar 20 kilometer. Ukuran kawahnya sendiri sekitar 960 meter x 600 meter dengan kedalaman 200 meter. Kawah ini terletak di kedalaman lebih dari 300 meter di bawah dinding kaldera.




2. Pantai Plengkung (G-Land)



Pantai Plengkung merupakan salah satu dari tujuh dari lokasi surfing terbaik di dunia. Pantai Plengkung bagi masyarakat umum mungkin kurang terkenal atau masih asing di telinga. Masyarakat lebih mengenal pantai Kuta di Bali atau Pantai Senggigi di Lombok daripada pantai ini. Namun bagi para peselancar profesional atau peselancar dunia, pantai Plengkung sudah sangat tak asin lagi bagi mereka. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa pantai ini merupakan surga bagi para peselancar profesional. pantai plengkung terletak do TN. Alas Purwo



3. Sukamade Beach



Pantai Sukamade merupakan pantai yang tenang dan indah. Pada mulanya pantai ini ditemukan oleh Belanda pada tahun 1927. Karet, kopi dan coklat ditanam di tanah perkebunan seluas 1200 hektar. Sukamade merupakan hutan lindung alam di Jawa Timur yang berhubungan dengan penangkaran penyu. Perjalanan malam hari ke pantai Sukamade menjadi tak terlupakan.



4. TN. Alas Purwo

 
Taman Nasional Alas Purwo terletak di ujung timur Pulau Jawa. Taman nasional ini masuk ke dalam dua kecamatan sekaligus yaitu Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo. Satu hal yang pasti, taman nasional tersebut berada di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.



5. Pancur Beach

Pancur adalah sebuah tempat dimana air tawar kecil alami mengucur dekat pantai. Pancur merupakan tempat yang teduh dan sangat cocok untuk bersantai. di sana juga ada tempat untuk berkemah. Para pengunjung bisa mendirikan tenda perkemahan disana. Para pengunjung dapat menginap sambil menikmati suara deburan ombak dan suara binatang lisr dari hutan. Pancur terletak 3 km dari Trianggulasi.



6. Pulo Merah (Red Island)



 Pulau Merah terletak di daerah selatan Banyuwangi. Pantai ini begitu indah dengan ombak yang pas untuk ber surfing ria. Di tengah tengah terdapat pulau kecil atau bukit yang tanahnya berwarana kemerahan yang karena itu tempat ini di sebut pulau merah.



7. Padang Rumput Sadengan (The Savana Of Sadengan)

Padang Rumput atau savana Sadengan adalah padang rumput dengan luas 80 hektar, dan merupakan padang rumput semi alami di Banyuwangi dan masuk dalam teritori Taman Nasional Alas Purwo. Disebut padang rumput semi alami karena keberadaan padang rumput ini tidak berlangsung secara alami, dimana terbentuk karena kerusakan hutan sehingga membentuk hamparan rumput yang luas.




8. Teluk Hijau (Green Bay)

Banyuwangi tak hanya memiliki Pantai Plengkung yang indah, tapi juga Teluk Hijau. Pantai yang masih tersembunyi dan sepi ini memiliki pasir putih yang menawan. Teluk Hijau semakin eksotis ketika dihempas ombak.

Teluk Hijau atau Green Bay terletak di Kabupaten Banyuwangi, bagian selatan Pesanggrahan, Desa Sarongan. Inilah surga yang tersembunyi di Banyuwangi. Keindahan pantai pasir putih nan menawan berhias deburan ombak.

 

 


9. Rajegwesi Beach

Pantai Rajegwesi terletak terletak di Desa Sarongan, Kecamatan Pesanggrahan, Banyuwangi.
Pantai Rejegwesi terbentuk dari endapan lumpur yang di bawa oleh sungai yang meluap pada saat banjir, hal ini juga menyebabkan pasir pantai berwarna cokelat dan bukan pasir hitam atau putih. Pantai Rajegwesi termasuk dalam bagian Taman Nasional Meru Betiri dan juga di gunakan sebagi budi daya penetasan penyu.




10. Pulau Tabuhan (Tabuhan Island)


Pulau Tabuhan terletak 20 Km dari pusat kota Banyuwangi, persis di tengah selat Bali yang memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Bali. Tepat berada di desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo, pulau ini memiliki luas sekitar 5 hektar.

Kebun laut yang eksotis, terumbu karang yang memukau dan dihuni oleh ribuan spesies ikan, bunga karang, udang karang dan berbagai tumbuhan laut adalah menu utama yang di sajikan oleh keindahan Pulau Tabuhan. Ditambah lagi, dengan kejernihan airnya, Pulau Tabuhan sangat cocok untuk mereka yang gemar agak kegiatan maritim seperti scuba diving.



 
 O7
 
 
5 Sumber : http://soendoel.blogspot.com/2012/05/kawah-ijen.html
Copyright : Mbah Soendoel (Bila masih punya HATI sertakan link diatas bila CoPas tulisan ini atau berhadapan dengan Google DMCA)
Kawah Ijen terletak di ketinggian 2.368 meter di atas permukaan laut. Yang menarik adalah kawah ini terletak di tengah kaldera yang terluas di Pulau Jawa. Ukuran kaldera sekitar 20 kilometer. Ukuran kawahnya sendiri sekitar 960 meter x 600 meter dengan kedalaman 200 meter. Kawah ini terletak di kedalaman lebih dari 300 meter di bawah dinding kaldera.

Sumber : http://soendoel.blogspot.com/2012/05/kawah-ijen.html
Copyright : Mbah Soendoel (Bila masih punya HATI sertakan link diatas bila CoPas tulisan ini atau berhadapan dengan Google DMCA)