Gus Dur

Tidak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya agamamu.

Punokawan

Ojo Dumeh.

Sunan Kalijogo

jika sudah tiba zamannya dimana sungai-sungai hilang kedalamannya (banyak orang yang berilmu yang tidak amalkan ilmunya), pasar hilang gaungnya , wanita-wanita hilang malunya maka cepat-cepatlah kalian keluar 4 bulan dari desa ke desa dari pintu ke pintu JANGANLAH PULANG sebelum mendapat HIDAYAH dari Allah swt.

Gus Mus

Kalau anda dipuji sedangkan anda merasa tidak sepantasnya dipuji, kenapa anda senang? kalau anda dicela, sedangkan anda merasa tidak sepantasnya dicela, kenapa anda marah?.

Hadratus Sayaikh KH. Hasyim Asyari

Sesungguhnya perpecahan, pertikaian, saling menghina dan fanatik madzhab adalah musibah yang nyata dan kerugian besar.

PERAMPOK BERSERAGAM

0 komentar

Pada dasarnya, peraturan adalah hal yang diharapkan untuk kebaikan bagi orang yang diatur. Bukanlah alat untuk mengeruk keuntungan dari orang yang diatur. Sementara fenomena umum yang sering terjadi adalah, peraturan dibuat oleh penguasa ataupun orang yang diberi kuasa untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok guna mengeruk keuntungan-keuntungan tertentu.

Dalam hal ini, para pengayom masyarakat atau petugas yang dibayar oleh masyarakat untuk memberikan rasa aman dan tentram, malah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Bahkan mereka menjadi momok yang ditakuti dan juga dibenci oleh masyarakat karena sudah tak lagi mengayomi dan memberi rasa aman. Bahkan tak jarang, mereka mengambil dan merampas hak-hak rakyat dengan dalih menegakkan peraturan. 


Seperti yang sudah sangat lazim terjadi dan juga telah menjadi rahasia umum, ketika mereka melakukan operasi lalu lintas, setiap pengendara yang tidak dapat menunjukkan surat-suratnya, akan diberi penawaran untuk dilanjutkan proses hukum atau dikenai denda Rp. 50.000,-. Bukankah ini adalah pungutan liar? Dalam kasus diatas, masih beruntung ada penawaran, bahkan tak jarang pula mereka langsung meminta Rp. 50.000,- kepada pengendara layaknya begal jalanan.

Memang, dalam hal ini pengendara akan lebih memilih memberikan Rp. 50.000,- nya ketimbang repot-repot melanjutkan ke proses hukum. Lagi pula, dengan keadaan pemerintahan seperti sekarang ini, kepercayaan masyarakat kepada orang-orang yang diamanahi untuk mengurusi urusan rakyat sudah berkurang. Sehingga, akan banyak keraguan dan pertanyaan dalam hati rakyat, kemana dan untuk apa uang denda tersebut? Apakah benar-benar untuk pembangunan negeri atau masuk ke kantong-kantong oknum tak bertanggung jaawab?



 
Selain itu, jikalaupun mereka yang melakukan operasi benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik, dengan kata lain, tidak melakukan pungutan liar dan memproses kesalahan pengendara (tidak bisa menunjukkan surat-surat kendaraan) dengan hukum, akan tetap ada keganjilan. Bukankah untuk mendapatkan SIM, pengendara harus membeli terlebih dahulu? Sebagai contoh saja, untuk mendapatkan SIM, seorang pengendara harus melewati tes teori dan tes praktek. Ketika si pengendara sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan tes teori dengan baik dan benar, secara ajaib muncul nilai yang menunjukkan tidak lulus dan jawaban yang tertera pada hasil tersebut tidak sesuai dengan jawaban yang telah dia jawab. Di lain hari, dia kembali lagi dengan membayar kepada oknum terntentu terlebih dahulu. Alhasil dengan tes yang asal-asalan, dia mendapat SIM pada hari itu juga. Dan ajaibnya, beratus-ratus pengendara yang mendapatkan SIM pada hari itu, melakukan hal yang sama. Dalam hatinya berkata, “pantas walaupun sudah menjawab benar tetap tidak lulus, ternyata semua memakai uang.”

Bukankah ini namanya membeli SIM? Bahkan, bukankah ini pemaksaan untuk mebeli SIM? Ketika manusia sudah tak lagi peduli dengan halal dan haram, ini adalah bisnis yang sangat menyenangkan. Perampok berseragam. Wallahu a’lam.