Gapura Menuju Pendopo Tegalsari |
Jika
ingin mengetahui ragam pesantren di Indonesia, khususnya daerah Jawa,
kurang afdhol rasanya kalau belum
menelisik lebih jauh keberadaan Pesantren Gebang Tinatar, atau yang sekarang
dikenal masyarakat dengan sebutan Pesantren Tegalsari. Pesantren yang terletak
didesa Tegalsari, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo ini adalah cikal bakal
seluruh pesantren yang ada di Indonesia.
Seorang
peneliti Belanda, Martin Van Bruinessen mengatakan bahwa sebelum keberadaan
pesantren Tegalsari ini, belum ditemukan satu bukti-pun yang menunjukkan adanya
sistem pesantren di Indonesia. Tentu
saja pandangan Martin ini berangkat dari gambaran pesantren sebagaimana yang
jamak kita lihat sekarang. Yaitu: punya sistem kurikulum, punya masjid beserta
pondokannya, dan pastinya: ada seorang Kyai yang mengasuh para santrinya. Dalam
klasifikasi tersebut, pada abad 18 Gebang Tinatar-Tegalsari adalah yang
pertama. Sewaktu diasuh oleh Kyai Kasan Besari selama 60 tahun (1800-1862 M) Gebang
Tinatar-Tegalsari mencapai masa keemasannya. Ribuan santri dari berbagai daerah
berduyun-duyun menuntut ilmu di pesantren ini.
Sejauh
ini belum diketahui secara pasti kapan persisnya Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari
didirikan. Menurut F. Fokkens dalam ‘ De
Priesterschool te Tegalsari’ yang diterbitkan 1877, Pesantren Gebang
Tinatar-Tegalsari sudah berdiri pada tahun 1742. Kyai Ageng Muhammad Besari,
pendiri sekaligus pengasuh pertama pesantren ini dikenal Fokkens sebagai
seorang pertapa yang mengasingkan diri. Hidupnya hanya diabdikan untuk
beribadah kepada Tuhan. Tiap harinya ia hanya makan dari akar-akaran. Banyak
orang yang berdatangan kesana untuk belajar Al-qur’an. Lambat laun pengikutnya
semakin banyak dan kemudian menetap di desa yang dikenal dengan nama Tegalsari
ini.
Pendopo Tegalsari |
Karena
banyaknya orang yang datang dan kemudian menetap di Tegalsari, maka
didirikanlah sebuah masjid yang dikelilingi oleh pondokan-pondokan kecil untuk
tempat tinggal para santri. Saat Fokkens mengunjungi Tegalsari, desa itu sudah
tampak ramai dan maju. Pohon-pohon rindang berjajar rapi dipinggir-pinggir
jalan desa yang dekat dengan pasar Wage itu. Sebuah pasar yang saat Fokkens
kesana sudah ramai dikunjungi orang. Rumah-rumah penduduk terlihat besar-besar
dengan halamannya yang luas. Memasuki area pesantren, Fokkens sudah mendapati sebuah
rumah besar model pendopo dengan temboknya yang tebal. Rumah itu adalah tempat tinggal sang Kyai.
Masjid dibangun terpisah dari rumah kyai. Arsitektur masjid saat itu sudah
terlihat mewah dan besar. Beratap dua sirap dan memiliki satu serambi. Lantainya
setinggi empat kaki dan diberi tangga. Dibelakang masjid terdapat sebuah makam
keluarga. Disekeliling masjid terdapat
pondokan-pondokan yang terbuat dari bambu. Lantai pondok juga terbuat dari
bambu dan dibikin lebih tinggi dari permukaan tanah. Didepannya terdapat teras yang bisa dipakai
untuk istirahat. Disetiap kamar terdapat rak dari bambu tempat menyimpan buku
dan kertas. Para santri memiliki lumbung-lumbung padi sebagai tempat menampung kebutuhan makan
mereka selama dipondok. Satu lumbung digunakan oleh empat sampai lima orang santri.
Mereka menjaganya secara bergantian.
Selama
dipondok, mereka tidak dipungut biaya sepeserpun. Para santri dari keluarga
kaya mencukupi kebutuhan mereka dengan bekal dari keluarganya. Sedangkan santri
dari keluarga miskin membantu kyai bekerja disawah untuk mencukupi kebutuhan hidup
mereka. Para santri kebanyakan berasal dari luar daerah ponorogo, seperti:
Banten, Priyangan, Cirebon, Karawang, Yogyakarta, Surakarta, Kedu, Magelang dan
Madiun. Pada saat diasuh oleh Kyai Kasan Besari, menurut Van Der Chijs,
Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari telah memiliki sekitar 3000 an santri.
Saking besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok. Bahkan pondokan
para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, seperti: desa Nglawu,
Bantengan, Malo, Joresan dan lain-lain.
Sejak
awal didirikannya masjid dan pondokan-pondokan, Bahasa Arab sudah mulai
diajarkan di Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari. Dan pada perkembangannya,
kitab-kitab agama Islam juga banyak dikaji dipesantren ini. Hingga saat ini
masih ditemukan beberapa kitab peninggalan masa awal Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari.
Sebut saja misalnya: Al-Munhati,
Jauharuttauhid, Jauharussamin Liummil Barohain dan kitab Tajwid. Tidak diketahui siapa penulis beberapa kitab
tersebut. Namun dari tulisannya, diduga penulisnya adalah satu orang dan pernah
belajar di Tanah suci Mekah. Kitab-kitab tersebut menggunakan keterangan
berbahasa arab dan kertasnya juga tidak berasal dari daerah sekitar Tegalsari,
melainkan kertas yang identik dengan kertas-kertas yang ada didaerah arab pada
masa lalu. Tidak diketahui pula kapan kitab-kitab itu ditulis, hanya pada
halaman pertama kitab Jauharussamin Liummil
Barohain tertulis bulan Jumadil Awal tahun Alif. Selain itu, ditemukan juga
Tiga jilid Kitab Fiqh Syarh Fathul Mu’in
karangan Zainuddin Al-Malibari. Penulisan kitab Syarh tersebut dilakukan oleh
beberapa orang dari beberapa generasi. Penulisnya adalah: Muhammad Jalalain,
Hasan Ibrahim, Hasan Yahya, Hasan Ilyas, dan Muhammad Besari.
Terdapat
juga satu bendel kitab yang dimungkinkan paling tua usianya. Sampulnya terbuat
dari kulit dan kertasnya adalah kertas gedok dari Tegalsari. Pada halaman
pertama bendelan kitab yang sudah sangat lusuh dan mulai hancur ini terdapat
catatan proses terjadinya desa Tegalsari sebagai ‘tanah perdikan’. Disebutkan
juga jumlah penduduk laki-laki dan perempuan yang tinggal disana pada masa awal
berdiri. Selanjutnya, didalam bendelan kitab ini juga terdapat penggalan karya
fiqh yang tidak jelas dikutip dari kitab apa. Yang jelas teksnya menggunakan huruf Arab Pegon atau Arab Melayu.
Disamping itu, pada halaman berikutnya juga ditemukan Syarh kitab fiqh yang
tidak lengkap berjudul “Al-Muharror” karangan
Abul Qosim Arrafi (wafat 1226 M). Diperkirakan syarh kitab ini ditulis oleh
Kasan Yahya pada tahun 1800-an. Terdapat juga penggalan kitab Fathul Wahhab karangan Zakariya
Al-Ansharei (wafat 1277). Kitab lainnya yang terdapat dalam bendelan kitab itu
adalah kitab Faroid. Namun tidak
diketahui juga siapa penulis dan tahun penulisan dari kitab yang terakhir ini.
Ndalem Kasepuhan Tegalsari |
Lebih
lanjut, menurut J.F.C Gerishe, seorang ahli Literatur Jawa, selain mengajarkan
Al-qur’an dan ilmu-ilmu agama Islam, Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari juga
mengajarkan berbagai macam ilmu Kejawen dan ilmu Kesaktian. Dalam laporan yang
disampaikannya di Nederlands
Bijbelgenootschap di Amsterdam, Gerishe mengatakan: “Walaupun Tegalsari telah mengajarkan kepada 3000 santrinya bagaimana
membaca Al-qur’an, tetapi disisi lain, disana juga mengajarkan rahasia-rahasia
Budha dan kepercayaan Kejawen yang masih dipertahankan oleh kyai-kyai setelah
masa transisi Islam di Jawa”.
Hal
tersebut diatas, juga selaras dengan pandangan Simuh, seorang penulis buku-buku
tentang Ronggowarsito. Ia mengatakan bahwa disamping memiliki perpustakaan yang
berisi buku-buku agama Islam, Pesantren Tegalsari juga memiliki perpustakaan
Kejawen. Kesimpulannya tersebut berangkat dari beberapa fakta tentang Kyai yang
membawa Gebang Tinatar-Tegalsari menuju masa kejayaannya, yaitu: Kyai Kasan
Besari. Selain terkenal dengan kesaktiannya, kyai Kasan Besari adalah menantu
Pakubuwono IV. Dengan demikian, Kyai Kasan Besari adalah seorang priyayi. Dan
sudah menjadi kebiasaan pada waktu itu bahwa setiap priyayi bisa dipastikan
mempunyai koleksi kitab-kitab kejawen. Belum lagi, dibawah asuhannya telah
lahir seorang pujangga jawa kenamaan; Raden Ngabehi Ronggowarsito. Hal ini
memperkuat dugaan Simuh. Selain itu, dalam sebuah penelitian yang dilakukan
oleh LHKP-PD Muhammadiyah Yogyakarta yang berjudul ‘Kesultanan Majapahit’ menyebutkan bahwa ‘Kitab Jangka Jayabaya’
yang sampai saat ini terkenal dimasyarakat sebagai karangan Ronggowarsito
maupun Prabu Jayabaya dari Kerajaan Kediri, sebenarnya adalah karya Kyai Kasan
Besari dari Tegalsari ini. Kitab yang dipercaya masyarakat berisi ramalan ‘Jaman Edan’ dan ‘Ratu Adil’ itu sebenarnya adalah analisis sosial yang akan
dijadikan acuan merumuskan ‘program
pembudayaan’ didaerah Ponorogo dan sekitarnya. Sebagaimana namanya, ‘Jongko’ adalah ‘Penjongko’ atau hal-hal yang direncanakan. Jadi ia hanyalah
proyeksi; bukan ramalan. Karena ditulis dalam bahasa sastra, maka dikemudian
hari pesan tersiratnya tak banyak ditangkap oleh masyarakat. Namun demikian, Belanda
menangkap tujuan Kyai Kasan Besari ini. Belanda kemudian menjebloskannya
kedalam penjara selama beberapa tahun. Maka dari itu, penulisan kitab tersebut dilanjutkan
oleh muridnya; Ronggowarsito.
R.Ng Ronggowarsito III |
Dalam
perkembangannya, pesantren ini telah melahirkan tokoh-tokoh ternama.
Diantaranya adalah Pakubuwono II, raja Kasunanan Kartasurya. Dia mengenyam
pendidikan di Pesantren Gebang Tinatar-Tegalsari ketika Kerajaan Kartasura
sedang menghadapi ‘Geger Pecinan’.
Pemberontakan kelompok Tionghoa tersebut dipimpin oleh cucu Sunan Mas yang
bernama Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning. Karena kualahan, Pakubuwono II
terpaksa menyingkir kearah timur dan kemudian berlindung dipesantren yang
diasuh oleh Kyai Ageng Mohammad Besari ini. Setelah ‘nyantri’ disana beberapa lama, Pakubuwono II akhirnya dapat
menduduki tahta kembali pada tahun 1743 M. Kemampuannya mengalahkan kelompok
Mas Garendi tersebut tidak lepas dari bantuan Kyai Ageng Muhammad Besari
beserta murid- muridnya. Atas jasa Kyai Ageng Besari mengembalikan kedudukan
Pakubuwono II inilah, maka Tegalsari dibebaskan dari pembayaran pajak kepada
kerajaan Kartasura atau disebut sebagai ‘Tanah
Perdikan’.
Selanjutnya,
pesantren ini juga melahirkan sastrawan besar yang karyanya tetap melegenda
lintas zaman. Bagus Burhan, yang dikemudian hari bergelar Raden Ngabehi
Ronggowarsito telah mondok dipesantren
ini sejak usia 12 tahun. Pujangga terakhir Keraton Surakarta yang terkenal
dengan ramalannya tentang ‘Zaman Edan’
ini adalah putra dari Mas Pajangswara dan cucu Yasadipura II.
Seorang peneliti dari Jepang, Takashi Siraishi, dalam karyanya ‘Zaman Bergerak’ mengatakan: “Tidak ada yang dapat lebih jelas
menggambarkan transformasi budaya di Surakarta pada abad XIX ini daripada
tempat yang diduduki oleh R.Ng Ranggawarsita. Saat itu. melalui kemampuan
bahasanya, ia melegitimasi kekuasaan”. Menurut Takashi, pada zamannya,
tulisan-tulisan Ronggowarsito sudah disebarkan melalui percetakan, bukan
melalui naskah tulisan tangan sebagaimana penulis-penulis yang lain. Dan juga,
penikmat karya-karya Ronggowarsito bukanlah sekedar didalam lingkaran kraton,
melainkan juga anggota komunitas Indo-Jawa-Tionghoa yang terpelajar.
Tak
ketinggalan, Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau yang dikenal dengan HOS.
Cokroaminoto adalah santri sekaligus keluarga dari Pesantren Gebang
Tinatar-Tegalsari. Pahlawan Nasional yang lahir di Madiun 16 Agustus 1883 ini
adalah ketua Syarekat Islam, sebuah organisasi
pergerakan pertama di Indonesia. Pada masa kepemimpinan cucu Bupati Ponorogo,
RT Tjokronegoro inilah Syarekat Islam mencapai masa kejayaannya. Dalam catatan
Takashi Siraishi menyebutkan: “Pd hari Sabtu dibulan Juni, sekitar 2000 anggota baru diinisiasi (baca:
diajak) oleh sekelompok orang..Keanggotaan SI meningkat dg pesat....Asisten
Residen Surakarta memperkirakan jumlah anggotanya mencapai 35.000 orang pd awal
Agustus”. Masyarakat berbondong-bondong menjadi anggota Syarekat Islam
karena menganggap bahwa Cokroaminoto adalah ‘Ratu
Adil’ sebagaimana yang diramalkan oleh Ronggowarsito. Selain itu, banyak
tokoh pergerakan lainnya yang kemudian mendirikan berbagai aliran politik di
Indonesia juga menjadi murid Cokroaminoto. Sebut saja misalnya: Soekarno yang
kemudian menjadi presiden pertama Indonesia sekaligus pendiri Partai Nasional
Indonesia (PNI); Bung Tomo, pengobar perlawanan arek-arek Surabaya terhadap
agresi Belanda, yang sekaligus juga pendiri partai Gerakan Indonesia (Gerindo);
Semaoen dan Marco Kartodikromo yang kemudian menjadi tokoh awal Partai Komunis
Indonesia (PKI), Kartosuwiryo, penggagas Negara Islam Indonesia (NII), dan
banyak lagi tokoh pendiri organisasi pergerakan lainnya yang juga ‘nyantri’ kepada cicit Kyai Kasan Besari
ini.
Pendiri Pesantren Gebang Tinatar |
Selanjutnya,
pada saat pesantren ini dipimpin oleh Kyai Khalifah, terdapatlah seorang santri
yang sangat menonjol diberbagai bidang keilmuan. Ia adalah Sulaiman Jamaluddin,
cucu Pangeran Hadiraja; Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia terkenal sangat dekat
dengan Kyainya. Maka tak heran seusai menyelesaikan belajarnya dipesantren ini,
ia diambil menantu oleh Kyai Khalifah. Sulaiman Jamaludin kemudian menjadi Kyai
muda yang sering dipercaya menggantikan Kyainya memimpin pesantren. Bahkan Kyai
Khalifah akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk
mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor. Sebuah desa yang terletak
disebelah timur laut dari Tegalsari. Lambat laun, pesantren baru di desa Gontor
ini mengalami perkembangan yang begitu pesat sehingga mengalahkan popularitas
Gebang Tinatar-Tegalsari. Pesantren di desa Gontor tersebut adalah cikal bakal
pesantren besar yang kini dikenal masyarakat dengan nama Pondok Modern Gontor.
Masjid Tegalsari (tampak samping) |
Demikianlah, meski sekarang masyarakat sekitar-pun sudah
tidak begitu mengenal nama ‘Pesantren Gebang Tinatar’ ini, namun sejarah telah
mencatatnya sebagai peletak dasar pondasi kepesantrenan di Nusantara. Meskipun
kiprah Kyai Ageng Muhammad Besari dan Kyai Kasan Besari hanya melegenda dalam ingatan
sebagian masyarakat−yang bahkan sering rancu dalam membedakan keduanya−,
setidaknya nyaris semua jaringan pesantren di Indonesia, khususnya di Jawa
hampir bisa dipastikan punya pertalian darah dengan keduanya. Bahkan menurut
info yang sedang ditelusuri oleh penulis, karya-karya dari Pesantren Gebang
Tinatar-Tegalsari ini banyak bertebaran di perpustakaan-perpustakaan
universitas luar negeri seperti Harvard University dan Leiden University. Tak
heran memang, untuk universitas yang tersebut terakhir ini cikal bakalnya
adalah lembaga riset kepustakaan Jawa yang bernama Javanologi di Surakarta. Dan
salah satu peneliti yang paling menonjol disana adalah santri Gebang
Tinatar-Tegalsari; Ronggowarsito.
Sumber: Gebang Tinatar
Sumber: Gebang Tinatar
0 komentar:
Posting Komentar