Postingan ini dibuat untuk memenuhi tugas matakuliah multimedia PAI IV B
Dibuat oleh: Mahmud Rofi'i
Dosen : Drs. Ahmad Hasyim Fauzan, M.Pd.I
A. PENGERTIAN
SUAP MENYUAP
Suap disebut juga dengan sogok
atau memberi uang pelicin. Adapun dalam bahasa arabnya disebut dengan risywah.
Suap yang dalam bahasa arabnya risywah merupakan sebuah problema umat
Islam saat ini. Secara etimologi risywah terambil dari kata رشا yang artinya menurut Ibn Faris Ibn Zakariyah (menunjukkan sebab sesuatu menjadikan ia ringan dan lunak),
apabila dikatakan artinya. Menurutnya Ibn Atsir, risywah artinya tali (al-habl)
yang dibentangkan untuk menimba air di sumur. Dari makna ini dapat dikatakan
bahwa dengan adanya pemberian sesuatu kepada orang lain diharapkan dapat
memudahkan urusannya atau dengan adanya tali maka air akan mudah ditimba
sehinga sampai kepada maksud yang dituju.
Sementara, secara terminologi
menurut Abdullah Ibn Abdul Muhsin risywah ialah sesuatu yang diberikan
kepada hakim atau orang yang mempunyai wewenang memutuskan sesuatu supaya orang
yang memberi mendapatkan kepastian hukum atau mendapatkan keinginannya. Menurut
Ali Ibn Muhammad al-Sayydi a-Sarif al-Jurjani, risywah ialah suatu pemberian
kepada seseorang untuk membatalkan suatu yang hak dan membenarkan yang batil. Risywah
juga dipahami oleh ulama sebagai pemberian sesuatu yang menjadi alat bujukan
untuk mencapai tujuan tertentu. Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa risywah
adalah pemberian kepada orang lain yang mengandung unsur pamrih yang bertujuan
membatalkan yang halal dan atau membenarkan yang batil dan ia dijadikan alat
bujukan untuk mencapai tujuan tertentu.
Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian
uang, barang, rabat (diskon), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Contoh kasus gratifikasi Cinderamata bagi guru (PNS) setelah pembagian
rapor/kelulusan.
B. HADIST TENTANG ORANG YANG MENYUAP DAN YANG MENERIMA
SUAP
عن أبى هريرة رضى الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم : لعنت الله على الرشى والمرتشى فى الحكم . رواه . أحمد وأبو داود
والترمذى .
“Dari Abu Hurairah r.a., beliau berkata: Rasulullah saw, bersabda: kutukan
Allah menimpa atas orang yang menyuap dan orang yang menerima suap dalam
hukum.”
عن عبدالله بن عمرو رضى الله عنهما قال : قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم : لعنت الله على الرشى والمرتشى . رواه الخمسة إلا النسائى
وصححه الترمذى .
“Dari Abdullah bin Amru r.a., beliau berkata: Rasulullah saw, bersabda:
kutukan Allah menimpa atas orang yang menyuap dan yang menerima suap.”
(Diriwayatkan oleh Al-Khamsah (lima perawi) selain An-Nasa’i dan dinilai
sahih oleh At-Tirmidzi).[2][2]
C. MACAM MACAM SUAP MENYUAP / RISYWAH
Ibn Abidin, dengan menguti kitab al-Fath, mengemukakan empat macam bentuk risywah,
yaitu:
- Risywah
yang haram atas orang yang mengambil dan yang memberikannya, yaitu risywah
untuk mendapatkan keuntungan dalam peradilan dan pemerintahan.
- Risywah
terhadap hakim agar dia memutuskan perkara, sekalipun keputusannya benar,
karena dia mesti melakukan hal itu.
- Risywah
untuk meluruskan suatu perkara dengan meminta penguasa menolak kemudaratan
dan mengambil mamfaat. Risywah ini haram bagi yang mengambilnya saja.
Sebagai helah risywah ini dapat dianggap upah bagi orang yang berurusan
dengan pemerintah. Pemberian tersebut digunakan untuk urusan seseorang,
lalu dibagi-bagikan. Hal ini halal dari dua sisi seperti hadiah untuk
menyenangkan orang. Akan tetapi dari satu sisi haram, karena substansinya
adalah kazaliman. Oleh karena itu haram bagi yang mengambil saja, yaitu
sebagai hadiah untuk menahan kezaliman dan sebagai upah dalam
menyelesaikan perkara apabila disyaratkan. Namun bila tidak disyaratkan,
sedangkan seseorang yakin bahwa pemberian itu adalah hadiah yang diberikan
kepada penguasa, maka menurut ulama Hanafiyah tidak apa-apa (la ba`sa).
Kalau seseorang melaksanakan tugasnya tanpa disyaratkan, dan tidak pula
karena ketama’annya, maka memberikan hadiah kepadanya adalah halal, namun
makruh sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibn Mas’ud.
- Risywah
untuk menolak ancaman atas diri atau harta, boleh bagi yang memberikan dan
haram bagi orang yang mengambil. Hal ini boleh dilakukan karena menolak
kemudaratan dari orang muslim adalah wajib, namun tidak boleh mengambil
harta untuk melakukan yang wajib.
D. PERBEDAAN SUAP DAN GRATIFIKASI
Definisi dari keduanya juga berbeda, Suap mengandung definisi “ Barangsiapa
menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga
bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan
atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima
suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda
sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah) (Pasal 3 UU
3/1980).” sedangkan Gratifikasi Mengandung Definisi “ Pemberian dalam arti
luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman
tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang
diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik (Penjelasan Pasal
12B UU Pemberantasan Tipikor).
E. HUKUM HADIAH DAN SUAP MENYUAP
1) Hukum
Hadiah
Memberikan hadiah adalah sunnah, dianjurkan dalam syari’at Islam, walaupun
sedikit. Dari Abu Hurairah r.a dari Rasulullah SAW bersabda:
يَا نِسَاءَ المُسْلِمَا تِ لَاتَحْقِرَنَّ جَارَةٌ
لِجَارَتِهَا وَلَوْفِرْسِنَ شَاةٍ
“Wahai wanita-wanita muslim, janganlah seorang tetangga menghina
tetangganya yang lain, walaupun (hadiah yang diberikan hanya berbentuk) firsina
syat.”[3][3]
Dan banyak nash yang menyebutkan tentang keutamaan hadiah, diantaranya:
Dari Abu Hurairah r.a dari Rasulullah SAW bersabda:
تَهَادَوْا تَحَابُّوْا
Dan dalil ijma’ pun menunjukkan sunnahnya hukum memberi hadiah tersebut.
Karena pengaruh dan arti sosialnya yang sangat baik, maka itu berguna untuk
membantu orang yang diberi, dan dapat menghilangkan kekikiran dari diri orang
yang memberi. Hadiah adalah sarana untuk menghormati, seperti: hadiah kepada
orang tua, orang yang berilmu; dan juga untuk beramah-tamah, serta menimbulkan
kecintaan, seperti: hadiah kepada istri, kerabat, teman, dan tetangga; juga
untuk membalas kebaikan atau dapat mencegah kemudharatan sifat egois terhadap
tugas yang bukab merupakan wewenang dan tangsssssgung jawab.
Segala hal tersebut dianjurkan dalam syari’at Islam, dan merupakan
tujuannya yang sangat agung, serta metode yang mantap dalam mempersatukan hati
umat yang telah Allah anugerahkan ketentraman. Allah berfirman:
وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي
الأرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ
بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٦٣)
“dan yang mempersatukan hati mereka, walaupun kamu membelanjakan semua
kekayaan yang ada di bumi, niscaya kamu tidak akan bisa mempersatukan hati
mereka, tetapi Allah-lah yang telah mempersatukan hati mereka, sesungguhnya Dia
maha perkasa lagi maha bijaksana.”(Al-Anfal: 63)
Dan hadiah adalah cara untuk saling dekat karena dapat menumbuhkan rasa
kecintaan diantara sesama orang yang telah memberikan hadiah, juga dapat
merekat hubungan diantara mereka apabila telah saling berjauhan, dan
menumbuhkan rasa kecintaan diantara sesama kaum muslimin apabila ada jarak
diantara sesama mereka, jalan untuk ketentraman dan kebahagiaan mereka di dunia
dan jalan kemenangan mereka untuk mendapatkan surga di akhirat. Dari Abu
Hurairah r.a, Rasulullah SAW bersabda:
لَا تَدْخُلُوا اْلجَنَّةَ حَتّى تُؤْمِنُوْا, وَلَا
تُؤْمِنُوْا حَتّى تَحَابُّوْا, اَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ اِذَا
فَعَلْتُمُوْهُ تَحَا بَبْتُمْ ؟ أَفْشُوْا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan
beriman (sempurna) sampai kalian saling mencintai. Inginkah kalian
kuberitahukan sesuatu yang apabila kalian lakukan, kalian akan saling
mencintai? Tebarkanlah salam diantara sesama kalian.”[5][5]
Kalau sekedar mengucapkan salam saja dapat memberikan pengaruh seperti ini,
sementara salam hanya sekedar kata-kata, tentunya hadiah dengan harta juga
dapat berpengaruh seperti itu atau lebih.
Memberikan hadiah dapat menumbuhkan kegembiraan dihati orang yang
memberikannya. Al-Kattabi berkata: “menerima hadiah bagi Rasulullah SAW
merupakan suatu penghormatan dan bagian dari akhlak mulia, yang dengannya dapat
merekatkan hubungan hati. Dan memakan hadiah merupakan syi’ar serta
kekhususannya. Bahkan diceritakan pada kitab-kitab terdahulu bahwa beliau
(Rasulullah SAW) menerima hadiah.
Maka disunnahkan menerima hadiah tersebut dan makruh hukum menolaknya.
لَاتَرُدُّوْا الْهَدِيَّة
Hadiah juga dapat dimiliki dan boleh untuk dimanfaatkan. Allah berfirman:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ
طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (٤)
“berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian yang penuh dengan kerelaan. Kemudian jika menyerahkan kepada kamu
sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa’: 4)
Di dalam ayat tersebut ada dalil yang menerangkan bolehnya menerima hadiah.
Allah memerintahkan kepada suami untuk memakan pemberian yang diberikan oleh
istri dari bagian mahar apabila ia rela. Bahkan, hal itu disebut-Nya sebagai
pemberian yang sedap dan baik akibatnya, dan pemberian itu adalah hadiah dari
istri. Maka, perintah (dari Allah untuk boleh memakan) dan keterangan (bahwa
itu adalh pemberian yang sedap dan baik akibatnya) adalah merupakan alasan
paling kuat untuk menyatakan bolehnya menerima hadiah.
Dan dilarang untuk menerima hadiah apabila berlawanan dengan tujuan
syari’at, karena “tujuan” sangat dipandang atau dipertimbangkan dalam
bentuk-bentuk akad.
Apabila hadiah itu diberikan tidak dengan kerelaan hati, maka wajib
ditolak. Sebagaimana diriwayatkan dari Anas r.a, Rasulullah SAW bersabda:
لَايَحِلُّ مَالُ امْرِيءٍ مُسْلِمٍ اِلَّا بِطِيْبِ
نَفْسِهِ
Atau apabila hadiah itu termasuk dalam bentuk hadiah yang tidak halal untuk
diambil.
Dan boleh untuk ditolak, apabila si pemberinya adalah orang yang suka
menyebut-nyebut pemberian, sebagai antisipasi terhadap kebiasaannya itu.
Dan disunnahkan pula untuk membalas hadiah yang diberikan walaupun dengan
sesuatu yang lebih kecil. Diriwayatkan dari Aisyah r.a beliau berkata:
“Rasulullah SAW biasa menerima hadiah kemudian membalasnya.
Dan diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ اُهْدِيَ اِلَيْكُمْ فَكَا فِئُوْهُ, فَاِنْ لَمْ
تَجِدُوْا مَا تُكَا فِئُوْنَهُ, فَادْعُوْالَهُ حَتَّى تَرَوْنَ أَنْ قَدْ كَا
فَأْتُمُوْهُ
“Barang siapa diberi hadiah, maka balaslah, kalau kalian tidak punya
sesuatu untuk membalasinya maka do’akanlah untuknya sampai kalian merasa
membalasinya.”
Dan yang lebih baik membalasnya dengan sesuatu yang lebih baik atau dengan
sesuatu yang serupa. Dan benar apa yang difirmankan Allah SWT:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ
مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا (٨٦)
“Apabila kamu dihormati dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik atau dengan yang setimpal, sesungguknya
Allah memperhitungkan segala sesuatu.”(An-Nisa’: 86)
2) Hukum
Suap-Menyuap
Memberi dan menerima suap adalah haram berdasarkan Al-Qur’an dan hadits
Nabi, serta ijma’.
Ditinjau menurut Al-Qur’an. Allah berfirman:
وَلاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيقًا مِنْ
أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١٨٨)
“Dan janganlah sebagian dari kamu memakan harta sebagian yang lain diantara
kamu dengan jalan yang bathil dan janganlah kamu memberi urusan harta itu kepda
hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu
dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.”(Al-Baqarah: 188)
Dalam ayat diatas, ada larangan untuk memakan harta dengan cara bathil
walaupun diberikan dengan sukarela oleh pemberinya seperti suap.[8][8]
Al-Baghawi berkata, “Artinya (ayat di atas tadi), jangan kalian berikan
harta itu kepada hakim dengan cara suap agar dia mengubah hukum untuk kalian.”[9][9]
Adapun hasil dari sunnah, diriwayatkan dari Syauban r.a, beliau berkata:
“Rasulullah SAW melaknat tukang beri suap, menerima suap, dan menjadi perantara
diantaranya.”[10][10]
Dalam hadits di atas mengandung keterangan bahwa suap adalah bagian dari
dosa besar, karena laknat yang berarti diusir dari rahmat Allah hanya berlaku
untuk dosa besar. Dan laknat itu mencakup seluruh komponen yang terlibat dalam
suap, yaitu: pemberi, penerima, dan perantara di antara keduanya.[11][11]
Dan para ulama telah berijma’ untuk menyatakan haramnya suap secara umum,
karena banyaknya nash yang melarang dan memperingatkan, dan bahayanya dalam
kehidupan individu dan masyarakat, serta pengrusakan di atas muka bumi.
F.
APA SAJA YANG MEMPENGARUHI PERILAKU SUAP MENYUAP
Korupsi ada karena:
1. Faktor
eksternal:
Kesempatan: Biasanya oleh pemilik kekuasaan, pelaku pelaksana peraturan/UU,
pengatur/pengelola kebijakan.
Kebutuhan: Biasanya oleh masyarakat pengguna UU, kebijakan, peraturan,
persyaratan.
2. Faktor
internal: Moralitas, Tuntutan Hidup.
Dua faktor diatas terjadi dalam hubungan imbal balik "Demand and
Supply". Kalau ada permintaan maka akan ada supply, begitulah terjadinya.
Demand sampai kapanpun selalu ada, sedangkan supply bisa diberikan atau tidak.
Jadi, kesimpulannya ujung pangkal terjadinya korupsi adalah disupply-nya
demand oleh point, yang disebabkan kerendahan moral dan tidak kuatnya iman
pemilik kesempatan, pembuat kebijakan, pengelola dan pelaksana peraturan.
[1][1] Asy-Syaukani, Nailul Authar VI, terjemah: Drs. Muammal
Hamidy, dkk. hlm. 3189
[2][2] Ibid.
[3][3] Al-Bukhari, 2566. Yang dimaksud firsina syat disini
adalah sepotong kaki kambing. Lihat Al-Misbah Al-Munir hal. 468, dan Fath
Al-Bari, 5/198.
[4][4] Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, 594, dan Ibnu
Hajar mengomentarinya, “sanadnya shohih”. Lihat At-Talkhis Al-Habir, 3/1047.
[5][5] Muslim: 54.
[6][6] Imam Ahmad: 3838. Dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam
Irwa’ Al-Ghalil, 6/59.
[7][7] Imam Ahmad bin Hambal: 20971; dan Sunan Dar Quthni,
3/26, dan hadis ini dishahihkan Al-Albani dalam Irwa’ Ghalil.
[8][8] Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 2/338; dan Jarimah
Ar-Risywah fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, hal.98.
[9][9] Syarh As-Sunnah, 10/88.
[10][10] Imam Ahmad: 22/762; dan As-Suyuthi memberikan
tanda rumus tentangnya yang menandakan shahih.
[11][11] Fatawa Islamiyah, 4/344-345; dan Jarimah
Ar-Risywah fi Asy-Syariyah Al-Islamiyyah, hal. 102.
0 komentar:
Posting Komentar