Ponorogo yang merupakan sebuah kabupaten kecil di pulau
padat penduduk, Pulau Jawa, dimana berbagai kalangan masyarakat berpadu di
dalamnya. Mungkin setiap orang di Indonesia ketika mendengar kata “ponorogo”, akan
terlintas di benaknya tentang reog. Sebuah seni tari dengan sajian utama barong
raksasa terbuat dari dadak merak yang diangkat menggunakan gigi.
Memang, kata “reog” hampir tidak bisa dipisahkan dengan kata
“ponorogo”. Setiap Reog pasti dinisbatkan dengan Ponorogo. Walaupun Reog
tersebut merupakan kelompok tari dari daerah lain. Karena, Ponorogo adalah asal
mula seni tari ini.
Begitu juga dengan kata “Ponorogo” yang identik dengan “Reog”.
Ketika saya ditanya, “dari mana mas?” “dari
Ponorogo”, “owh yang ada reognya ya?” atau sekedar bergumam “owh kota reog”, bahkan
tidak jarang jika sudah akrab akan berkata, “pantas kayak reog” sambil cengengesan.
Yang pasti tidak jauh dengan kata-kata itu. Memang, Ponorogo sudah terlanjur
populer dengan reognya, tetapi jika menelusuri lebih jauh kabupaten yang satu
ini, kita akan mengetahui, Ponorogo bukan “hanya” reog.
Ponorogo, sebenarnya bukan kota dengan kemajemukan tinggi baik dari segi sosial, budaya, ras, maupun agama. Rata-rata penghasilan masyarakat Ponorogo seperti umumnya masyarakat desa yaitu dari hasil bercocok tanam. Karena 99 %
masyarakat Ponorogo adalah orang jawa, tak ayal budaya Jawa masih sangat
melekat di masyarakat. Juga dari segi agama, 99 % KTP orang Ponorogo tertulis
beragama Islam.
Hal ini
selaras dengan banyak dan besarnya pendidikan-pendidikan berbasis pesantren.
Sebut saja, Pondok Modern Darussalam Gontor, Pondok Pesantren Al-Islam Joresan
dan Pondok Pesantren Walisongo Ngabar. Tiga pondok besar yang berjajar jika
dilihat dari segi geografisnya terletak di tengah-tengah wilayah Ponorogo. Jika
di kota (wilayah utara) ada Pondok Pesantren Darul Huda Mayak, Pondok Pesantren
Al-Iman Babadan, jika di selatan ada Pondok Modern Ar Risalah Slahung. Begitu
juga dengan pendidikan-pendidikan tingginya. Dari Universitas Muhamadiyah
(UNMUH) Ponorogo, Universitas Darussalam (UNIDA), IAIN Ponorogo dan Juga
Institut Sunan Giri (INSURI) Ponorogo. Secara garis besar, bisa ditarik
kesimpulan bahwa Ponorogo adalah kabupaten yang islami dan berpendidikan.
Ponorogo,
-selain reognya- masih ada banyak hal
lain yang perlu diketahui. Salah satu diantaranya yaitu tentang tata kotanya
yang khas. Sebagai kota yang didirikan oleh salah satu punggawa kerajaan
Majapahit lebih dari lima abad yang lalu yaitu Bathoro Katong, tata kota Ponorogo
menggunakan sistem tata letak kota orang jawa dulu yang dikenal dengan sistem
mocopat. Aloon-aloon kota berada di tengah-tengah, disini biasa menjadi tempat
perhelatan acara-acar besar kabupaten atau sekedartempat nongkrong anak muda, di
utaranya sebagai pusat pemerintahan, di sebelah barat sebagai pusat
peribadahan, sebelah selatan adalah perbelanjaan dan di sebelah timur adalah
kebudayaan.
Sebagai
kabupaten yang syarat akan budaya dan terletak tidak jauh dari pusat
pemerintahan kerajaan Mataram, tak ayal, tradisinyapun tak jauh berbeda.
Seperti, peringatan tahun baru jawa. Di Ponorogo biasanya peringatan tahun baru
jawa diperingati dengan diadakannya event-event yang sudah ada sejak zaman
dahulu, diantaranya, Festival Reog Nasional, sebuah festival berupa perlombaan
kelompok-kelompok seni reog yang mewakili daerahnya dari seluruh nusantara,
Grebeg Suro, yaitu arak-arakan pusaka dari kota lama ke pendodpo kabupaten dan
Larung Risalah Doa, yaitu melarungkan tumpeng ke Telaga Ngebel diiringi dengan
doa.
Itulah
sebagian kecil dari Ponorogo yang jarang diangkat. Ponorogo itu, Indah,
Ponorogo itu, Awesome, Ponorogo itu, kota tercinta . . . .
0 komentar:
Posting Komentar