Pada dasarnya, peraturan adalah hal yang diharapkan untuk
kebaikan bagi orang yang diatur. Bukanlah alat untuk mengeruk keuntungan dari
orang yang diatur. Sementara fenomena umum yang sering terjadi adalah,
peraturan dibuat oleh penguasa ataupun orang yang diberi kuasa untuk
kepentingan pribadi ataupun kelompok guna mengeruk keuntungan-keuntungan
tertentu.
Dalam hal ini, para pengayom masyarakat atau petugas yang
dibayar oleh masyarakat untuk memberikan rasa aman dan tentram, malah
menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Bahkan mereka menjadi
momok yang ditakuti dan juga dibenci oleh masyarakat karena sudah tak lagi
mengayomi dan memberi rasa aman. Bahkan tak jarang, mereka mengambil dan
merampas hak-hak rakyat dengan dalih menegakkan peraturan.
Seperti yang sudah sangat lazim terjadi dan juga telah
menjadi rahasia umum, ketika mereka melakukan operasi lalu lintas, setiap
pengendara yang tidak dapat menunjukkan surat-suratnya, akan diberi penawaran
untuk dilanjutkan proses hukum atau dikenai denda Rp. 50.000,-. Bukankah ini
adalah pungutan liar? Dalam kasus diatas, masih beruntung ada penawaran, bahkan
tak jarang pula mereka langsung meminta Rp. 50.000,- kepada pengendara layaknya
begal jalanan.
Memang, dalam hal ini pengendara akan lebih memilih
memberikan Rp. 50.000,- nya ketimbang repot-repot melanjutkan ke proses hukum.
Lagi pula, dengan keadaan pemerintahan seperti sekarang ini, kepercayaan
masyarakat kepada orang-orang yang diamanahi untuk mengurusi urusan rakyat sudah
berkurang. Sehingga, akan banyak keraguan dan pertanyaan dalam hati rakyat,
kemana dan untuk apa uang denda tersebut? Apakah benar-benar untuk pembangunan
negeri atau masuk ke kantong-kantong oknum tak bertanggung jaawab?
Selain itu, jikalaupun mereka yang melakukan operasi
benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik, dengan kata lain, tidak melakukan
pungutan liar dan memproses kesalahan pengendara (tidak bisa menunjukkan
surat-surat kendaraan) dengan hukum, akan tetap ada keganjilan. Bukankah untuk
mendapatkan SIM, pengendara harus membeli terlebih dahulu? Sebagai contoh saja,
untuk mendapatkan SIM, seorang pengendara harus melewati tes teori dan tes
praktek. Ketika si pengendara sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan tes teori
dengan baik dan benar, secara ajaib muncul nilai yang menunjukkan tidak lulus
dan jawaban yang tertera pada hasil tersebut tidak sesuai dengan jawaban yang
telah dia jawab. Di lain hari, dia kembali lagi dengan membayar kepada oknum
terntentu terlebih dahulu. Alhasil dengan tes yang asal-asalan, dia mendapat
SIM pada hari itu juga. Dan ajaibnya, beratus-ratus pengendara yang mendapatkan
SIM pada hari itu, melakukan hal yang sama. Dalam hatinya berkata, “pantas
walaupun sudah menjawab benar tetap tidak lulus, ternyata semua memakai uang.”
Bukankah ini namanya membeli SIM? Bahkan, bukankah ini
pemaksaan untuk mebeli SIM? Ketika manusia sudah tak lagi peduli dengan halal
dan haram, ini adalah bisnis yang sangat menyenangkan. Perampok berseragam. Wallahu
a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar